Rabu, 05 Desember 2012

Larangan Mendiamkan Melebihi Tiga Hari (Oleh M. Amrullah)

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ)) “Dari Abî Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam 'bersabda; 'Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam di mana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam'. “(HR. Muslim, Hadits No. 2560) Dalam riwayat yang lain memakai redaksi seperti yang penulis garasbawahi di bawah ini: عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ ، يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ ) “Dari Abî Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda; 'Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam diamana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam'.(HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba'în al-Nawawiyyah, hal.289 ) عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ» "Dari 'Abdullah bin 'Umar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Tidak halal bagi seorang mukmin mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari'."(HR. Muslim, Hadits No. 2561). عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا هِجْرَةَ بَعْدَ ثَلَاثٍ» "Dari Abi Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Tidak ada (di perkenankan) mendiamkan melebihi tiga (hari)'."(HR. Muslim, Hadits No.2562). Sebenarnya masih terdapat hadits-hadits lain yang belum disebutkan disini. Namun penulis menganggap, hadits-hadits diatas sudah cukub untuk menjelaskan esensi dari hadits-hadits tersebut bahwa, manusia di haramkan saling mendiamkan antara satu sama lainya melebihi tiga hari. Jika Anda berkenan, silahkan buka kitab Shahîh Muslim dan Shahîh Bukhari sesuai No. hadist yang telah penulis sertakan pada hadits-hadits diatas, atau kitab-kitab lainya—kalau perlu, syarahnya sekalian—disana Anda akan mendapati hadits-hadits lainya yang esensinya tak jauh berbeda dari hadits-hadit yang penulis sebutkan diatas. Dalam kitab Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba'în al-Nawawiyyah, hal.289 di sebutkan bahwa, maksud dari hadits-hadits diatas adalah yang di kehendaki dari larangan "Lâ tadâbaru (jangan saling menjauhi)" yang terdapat dalam hadits berikut: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً . الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ . التَّقْوَى هَهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ )) "Dari Abî Hurairah RA. Dia berkata, "Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda; "Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya”. (HR. Muslim, Arba'în al-Nawawiy, Hadits No.35) Sebagaimana di katakan dalam kitab Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba'în al-Nawawiyyah berikut ini; "Makna "La Tadâbur" adalah yang di kehendaki dari sabda Nabi shallallahu alihi wasallam عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ » “Dari Abiy Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam 'bersabda; "Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam diamana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam. ”(HR. Muslim, Hadits No. 2560)."{1} Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah diatas terdapat redaksi yang berbunyi "Lâ tadâbaru" yang dalam terjemahanya diartikan "Jangan saling menjauhi". Kata "Lâ tadâbaru" tersebut bisa diartikan, "al mu'âdâh (saling bermusuhan)" dan "al-muqâtha'ah (saling memutus tali persaudaraan)" ataupun saling memblakangi dan "al-Muhâjarah (saling mendiamkan).{2} Maksudnya, hadits-hadits yang menjelaskan ketidakhalalan mendiamkan saudara melebihi tiga hari sebenarnya adalah contoh dari makna "lâ tadâbaru" tersebut. Atau dengan kata lain, ketidakhalalan mendiamkan saudara melebihi tiga hari masuk dalam otoritas larangan yang terdapat dalam redaksi "lâ tadâbaru" tersebut. Lebih mudahnya jika di ilustrasikan kedalam bentuk pertanyaan: mengapa mendiamkan saudara kita lebih dari tiga hari tidak di halalkan (tidak diperbolehkan)?, jawabnya, karena perbuatan tersebut termasuk tindakan tadâbur yang secara eksplisit telah di larang dalam hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, tepatnya pada redaksi "lâ tadâbaru" tersebut. Untuk selanjutnya, ada beberapa permasalahan yang terkait dengan hadits-hadits diatas yang sekiranya penting untuk di catat dan diperhatikan. Karena ternyata, tidak semua tindakan mendiamkan seseorang melebihi tiga hari di diharamkan. Semisal mendiamkanya orang tua kepada anaknya karena bertujuan mendidik—mungkin kita semua pernah mengalaminya. Dalam konteks seperti ini (bertujian mendidik) orang tua diperbolehkan mendiamkan melebihi tiga hari. Mendiamkan Yang di Perbolehakn Melebihi Tiga Hari Dalam kitab Shahîh Muslim, hadits-hadits larangan saling mendiamkan ini dimasukan kedalam bab, " بَاب تَحْرِيمِ الهجرة فوق ثلاثة ايام بِلَا عُذْرٍ شَرْعِيٍّ (Bab Keharaman mendiamkan (saudara) melebihi tiga hari tanpa alasan (yang di perbolehkan menurut) syari'at)". Dari tema bab ini--tepatnya pada redaksi yang berbunyi, "tanpa alasan (yang di perbolehkan menurut) syari'at")--sebenarnya sudah dapat dipahami bahwa, yang diharamkan adalah saling mendiamkan yang dilatar belakangi urusan duniawi. Sedang mendiamkan yang berlatar belakang urusan agama telah mendapatkan legalitasnya dari syari'at sehingga diperbolehkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Wâfiy Fi al Syarh al-Arba'în al Nawawiyyah berikut ini: "Tadâbur (mendiamkan seseorang) yang melebihi tiga hari tersebut haram hukumnya jika disebabkan urusan duniawi. Adapun mendiamkan seseorang karena Allah , maka diperbolehkan melebihi tiga hari, yaitu ketika disebabkan urusan agama, sebagaimana yang telah di jelaskan oleh al-Imam Ahmad. Argumentasinya adalah kisah tiga orang yang tidak mengikuti perang tabûk, dan Nabi memperintahkan untuk mendiamkan mereka selama limapuluh hari dengan tujuan mendidik mereka dan karena takut kemunafikan menimpa mereka. Sebagaima diperbolehkanya mendiamkan ahli bid'ah yang berat dan orang-orang yang mengajak kejahatan dan kesesatan. Dan Imam al-Khithâbiy menuturkan, diperbolehkan mendiamkanya orang tua kepada anaknya...karena bertujuan mendidiknya." {3} Klarifikasi Sederhana Status Tiga Hari Kemudian hadits-hadits diatas memberikan pemahaman bahwa, mendiamkan tidak melebihi tiga hari itu diperbolehkan. Karena redaksi hadits "lebih dari tiga malam / hari" memang memiliki arti keterbalikan semacam itu, yakni, jika hanya tiga hari / malam maka di berbolehakan. Pemahaman semacam ini, dalam disiplin Ilmu Ushul Fikih di sebut dengan "mafhûm mukhâlafah". Sebelum melangkah terlalu jauh, terlebih dahulu penulis ingin melontarkan beberapa pertanyaan terkait, yang pertama; apakah ulama telah sepakat bahwa, saling mendiamkan yang tidak melebihi tiga hari di perbolehkan?. Yang kedua; Lalu kenapa yang dihalalkan (diperbolehkan) mendiamkan hanya dalam waktu tiga hari, bukan empat atau lima hari?. Izinkan penulis untuk menjawab pertanyaan yang kedua terlebih dahulu. Sejauh pencarian penulis kedalam kitab-kitab turats, penulis hanya menemukan beberapa gelintir pendapat yang bisa digunakan menjawab pertanyaan "kenapa yang dihalalkan (diperbolehkan) mendiamkan hanya dalam waktu tiga hari, bukan empat ataupun lima hari?. Itupun hanya berupa pendapat yang singkat dan yang pijakanya tidak penulis temukan, sehingga seolah (walaupun mungkin tidak) nampak sebatas asumsi semata—dan sebenarnya penulis sendiri kurang sepakat dengan pendapat ini karena penulis memiliki pijakan lain yang justru bertolak belakan dengan pendapat ini. Namun penulis tidak mengatakan bahwa, pendapat tersebut hanya berlandaskan asumsi dari empunya yang sudah jelas termasuk dari jajaran ulama besar. Namun barangkali, karena keterbatasan penulis dan referensinya sehingga tidak mampu melacak pijakanya secara utuh. Namun seandainya ada pijakanya-pun belum tentu penulis akan sepakat kerena penulis memiliki pijakan tersendiri yang cenderung bertentangan dengan pendapat mereka. Dalam kitab Marqâh al-Mafâtîh Syarkh Misykâh al-Mashâbîh, karya Syaikh 'Ali bin (Sultan) Muhammad, Abu al-Hasan Nûruddîn al-Malâ al-Harawiy al-Qâriy (wafat: 1014 H) di katakan; قَالَ الْخَطَّابِيُّ: رُخِّصَ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَغْضَبَ عَلَى أَخِيهِ ثَلَاثَ لَيَالٍ لِقِلَّتِهِ، وَلَا يَجُوزُ فَوْقَهَا إِلَّا إِذَا كَانَ الْهِجْرَانُ فِي حَقٍّ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى، فَيَجُوزُ فَوْقَ ذَلِكَ "Al-Khaththâbiy (Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrâhîm bin al-Khathâb, 931.M—998.M) mengatakan, 'Diringankan (diperbolehkan) bagi seorang muslim marah terhadap saudaranya dalam waktu tiga hari dikarenakan sedikitnya waktu tiga hari tersebut. Dan tidak diperbolehkan melebihi tiga hari kecuali mendiamkan kerena Allah, maka diperbolehkan melebihi tiga hari'."( Marqâh al-Mafâtîh Syarkh Misykâh al-Mashâbîh, Juz 8, hal.3146, Dâr al-Fikr, Bairut, libanan, Maktabah Syâmilah al-Ishdâr al-Awâl). Dalam pendapat tersebut al-Khaththâbiy memberikan alasan mengapa hanya tiga hari yang diampuni (diperbolehkan) mendiamkan saudara, bukan empat maupun lima hari. Menurut beliau, karena masa tiga hari tersebut adalah masa yang sedikit sehingga diampuni. Melihat bahasa ulama yang menggunakan redaksi "ufiya (diampuni)" mengindikasikan bahwa, pada prinsipnya mendiamkan selama tiga hari-pun tidak diperbolehkan. Namun kemudian diperbolehkan dalam masa tiga hari tersebut sebagai "rukhshah (keringanan)", karena manusia secara alami tercipta membawa sifat amarah yang kadang dia tidak bisa mengelak darinya. Dan juga karena masa tiga hari tersebut (menurut al-Khaththâbiy) tergolong sedikit sehingga wajar jika diampuni. Sebagaimana yang telah penulis katakan diatas bahwa, penulis kurang sependapat dengan apa yang dikatakan oleh al-Khaththâbiy karena beberapa hal berikut: pertama; status tiga hari yang beliau katakan sedikit, penulis tidak menemukan pijakanya yang jelas, atas dasar apa beliu mengatakan bahwa tiga adalah sedikit?. Bahkan, penulis menemukan pijakah—baik dalam disiplin Ilmu Nahwu maupun Fikih--yang mengatakan bahwa, bilangan tiga termasuk bilangan yang banyak (sebagaimana yang penulis jelaskan nanti). Dan andaikan ada pijakanya-pun penulis belum tentu akan sepakat karena penulis memiliki pijakan tersendiri yang yang bertolak belakang denganya. Kedua; ketika tiga dikatakan sedikit maka—menurut penulis—juga belum mampu memecahkan pertanyaan, "kenapa yang dihalalkan (diperbolehkan) mendiamkan hanya dalam waktu tiga hari, bukan empat atau lima hari?, karena masih menimbulkan pertanyaan susulan, mengapa yang diperbolehkan adalah yang sedikit, yaitu tiga hari? Kenapa yang banyak tidak diperbolehkan?. Penulis juga telah mengecek secara langsung kesalah satu masterpiece-nya al-Khaththâbiy, yaitu kitab Ma'âlim al-Sunan syaranya kitab Sunan Abî Dawûd yang sudah jelas didalamnya diterangkan permasalah yang sedang kita perbincangkan ini, yang beliau beri judul "باب فيمن يحجر اخاه المسلم. (Bab menjelaskan seorang yang mendiamkan saudaranya yang muslim)". Namun lagi-lagi penulis tidak menemukan pijakanya yang jelas. Yang disebutkan disana hanya kalimat singkat dan tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam kitab Marqâh al-Mafâtîh Syarkh Misykâh al-Mashâbîh diatas, yaitu hanya kalimat "فرخص له في مدة ثلاث لقلتها (diperbolehkan dalam masa tiga hari karena sedikitnya masa tiga hari tersebut)" tidak lebih.{4} Analisa Sederhana Penulis Terkait Status Tiga Hari Karena itu, penulis memiliki padangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan al-Khaththâbiy diatas terkait status tiga hari tersebut. Dan tentunya pandangan penulis disini bukan dimaksudkan untuk menandingi pandangan al-Khaththâbiy tersebut, kerena penulis sadar bahwa, penulis tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan al-Khaththâbiy yang notabene adalah ulama besar yang tersohor. Namun pandangan penulis ini lebih dimaksudkan sebagai pandangan seorang yang sedang belajar memecahkan sebuah problematika sesuai kemampuan yang dimilikinya dan sebagai perangsang otak agar dapat selalu berfikir progresif, tidak kaku dan membeku. Pandangan penulis tentang status tiga hari tersebut akan penulis jelaskan setelah terlebih dahulu penulis menjawab pertanyaan yang pertama diatas yang belum sempat terjawab, yaitu, apakah ulama telah sepakat bahwa, saling mendiamkan yang tidak melebihi tiga hari di perbolehkan?. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis berusaha melacak kedalam kitab Syarh Shahîh Muslim karya al-Imam al-Nawawiy, dan kitab-kitab lainyan semisal kitab Al-Istidzkâr dan Ma'âlim al-Sunan dan lainya. Dan teryata disana penulis menemukan beberapa perbedaan pendapat diantara ulama. Sebagian mereka berpandangan bahwa, hukumnya haram saling mendiamkan melebihi tiga hari, dan diperbolehkan dalam masa tiga hari. Mereka mengatakan; "Mengapa mendiamkan dalam masa tiga hari di maafkan (diperbolehkan)?, karena manusia berkecenderungan alami untuk marah dan bertingkah laku buruk dan sesamanya. Maka di ampuni (di perbolehkan) mendiamkan dalam masa tiga hari agar dalam masa tiga hari tersebut ia dapat mengatasi kemarahanya itu."{5} Dalam arti—sependek pemahaman penulis—masa tiga hari tersebut adalah sebentuk kebijaksanaan ataupun rukhshah (keringanan){6} Tuhan untuk umat manusia yang memang secara alami tak bisa terlepas dari yang namanya amarah. Mau tidak mau disana memang ada situasi-kondisi yang kadang memaksa manusia untuk marah dan saling mendiamkan, dan itu diluar kemampuan mereka untuk menepisnya. Sehingga—barangkali--kurang bijaksana jika manusia dituntut untuk melakukan hal yang mereka tidak mampu untuk melakukanya (dituntut menghilangkan amarahnya seketika). Disinilah nampak kasih sayang Allah dan kebijaksanaan-Nya terhadap manusia. Dalam masa tiga hari tersebut diharapkan manusia yang tertimpa amarah dapat mempergunakan sebaik mungkin untuk mengobati kemarahan tersebut. Karena sulit—bahkan mungkin mustahil—keumuman manusia yang marah kemudian seketika itu langsung sembuh dari kemarahanya. Mengapa Tiga Hari? Lalu mengapa Allah membatasinya dengan tiga hari?. Ada apa sesungguhnya dengan tiga hari tersebut?. Untuk saat ini penulis hanya bisa mengatakan bahwa, hanya Allah yang mengetahui rahasia sesungguhnya dibalik penetapan status tiga hari tersebut. Karena menurut hemat penulis, pertanyaan tersebut (mengapa Allah membatasi dengan tiga hari) tak jauh beda dari pertanyaan; mengapa sholat maghrib tiga rakaat bukan dua ataupun empat rakaat?, mengapa sholat shubuh hanya dua rakaat sedang dhuhur dan ashar empat rakaat?, mengapa orang yang haji diharuskan tawaf mengelilingi ka'bah tujuh kali, bukan enam ataupun delapan kali? Dan pertanyaan lainya yang jawabanya memang tak dapat dilogikakan oleh manusia. Dalam artian, tidak semua entitas dalam ranah agama dapat dirasionalkan oleh otak sederhana manusia. Bahkan, disana ada entitas yang tidak dapat dirasionalkan. Dalam Fikih hal semacam itu biasa disebut dengan ma'kul (yang dapat di logikakan) dan ghaira ma'kul (yang tidak dapat dilogikakan). Karena itu, Islam, dalam memecahkan problematika manusia, menggunakan otoritas wahyu dan akal sekaligus. Yang mana keduanya saling melengkapi dan memiliki peranan masing-masing sesuai porsinya. Domain akal adalah hal-hal yang memang dapat di jangkau oleh akal. Sedang ketika disana terdapat hal-hal yang sama sekali tidak dapat dijangkau akal, maka wahyulah yang berperan didalamnya. Contoh daripada hal-hal yang tidak dapat dilogikakan adalah bilangan rakaat sholat diatas, yaitu kenapa sholat maghrib tiga rakaat, isya' empat rakaat, shubuh dua rakaat?. Jumlah bilangan tersebut tidak dapat dijawab oleh akal pendek manusia, hanya Allah yang mengetahui rahasia dibalik bilangan rakaat tersebut.{7} Conto lain adalah terkait dengan adanya siksa kubur, hari kebangkitan dll. Sebagai manusia yang sadar diri akan kelemahan otaknya, maka mau tidak mau harus mengakui dan mengimani entitas yang memang tidak dapat dirasionalkan tersebut. Kita harus yakin bahwa, dibalik itu ada kebaikan untuk manusia yang hanya Allah yang mengetahuinya. Menurut hemat penulis, hal-hal yang seolah tidak rasional yang dikabarkan Allah adalah untuk menguji tingkat kepercayaan manusia terhadap-Nya. Manusia yang beriman maka ia akan menirima dan membenarkan-Nya--walaupun akalnya tidak dapat menerima dan membenarkanya—tanpa harus protes terlebih dahulu. Sampai disini penulis ingin mengatakan--sependek penjelajahan penulis terhadap status tiga hari tersebut--bahwa masa tiga hari yang telah di tetapkan Allah tersebut masuk dalam ranah hal-hal yang ghairu ma'kûl (yang tidak dapat dilogikakan) yang harus di terima dan di imani kebenaranya. Sedang untuk alasan, mengapa tiga hari? sepenuhnya diserahkan kepada Allah Yang Maha Tau. Kita telah yakin bahwa, Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui semua urusan manusia, termasuk mengetahui psikologi manusia dikala amarah melanda. Sehingga barangkali, waktu tiga hari tersebut memiliki hubungan dengan psikologi manusia terkait dengan kemarahan tersebut. Mungkin psikologi keumuman manusia ketika marah akan mereda dalam waktu tiga hari, sehingga ketika telah melebihi tiga hari berarti telah keluar dari jalur kewajaran. Tiga Hari Adalah Banyak Terlepas dari itu, jika penulis dipaksa untuk menjawab dan melogikakan, mengapa tiga hari?, Maka penulis akan berusaha untuk menjawabnya sesuai dengan kemampuan penulis. Dan tentunya bisa benar dan bisa juga salah. Menurut penulis, masa tiga hari yang didalamnya diperbolehkan mendiamkan adalah masa yang bijaksana. Dalam artian, tidak sedikit namun juga tidak terlalu banyak, bahkan hanya sebatas banyak. Mengapa penulis katakan bijaksana? Karena tiga hari tersebut—menurut penulis—adalah bilangan yang menengah-nengahi antara sedikit dan terlalu banyak. Allah, dengan memberikan waktu yang banyak (tiga hari) berarti Dia telah bijaksana dan menampakan kasih saying-Nya. Namun Dia tidak memberikan waktu terlalu banyak (melebihi tiga hari), karena terlalu banyak adalah hal yang berlebihan yang terlarang. Dalam disiplin Ilmu Nahwu (sintaksis)—terlepas dari ikhtilaf yang ada--bilangan tiga adalah batas awal dikatakan banyak. Dalam artian, bilangan satu dan dua masih tergolong sedikit dan bilangan tiga adalah bilangan banyak.{8} Sehingga—menurut penulis—yang melebihi tiga (empat keatas) adalah lebih dari banyak. Dalam Fikih, salah satu penyebab batalnya sholat adalah melakukan pekerjaan yang banyak (amal al-katsîr). Pekerjaan yang banyak ini dalam Fikh dibatasi dengan tiga kali pekerjaan yang berturut-turut. Sesorang yang menggerakan kepalanya dua kali maka sholatnya tidak batal karena tergolong pekerjaan yang sedikit, seorang yang menggerakan kepalanya tiga kali maka sholatnya batal karena dia telah melakukan pekerjaan yang tergolong banyak.{9} Jika dikontekstualisasikan dalam konteks kelegalan mendiamkan selama tiga hari, maka, masa tiga hari tersebut termasuk masa yang banyak atau katakanlah masa yang lama. Artinya, Allah telah meberikan kesempatan yang banyak (lama) agar manusia yang sedang tertimpa amarah dapat menyembuhkanya dalam masa tiga hari tersebut. Sehingga, ketika tiga hari tersebut tidak ia pergunakan semaksimal mungkin untuk menyembuhkan amarahnya itu—padahal itu masa yang lama--bahkan berlarut-larut sampai empat atau lima hari bahkan bertahun-tahun, berarti dia telah melakukan hal yang berlebihan atau melampaui batas. Karena kesempatan tiga hari tersebut adalah kesempatan yang tergolong banyak (lama) sehingga--menurut penulis—mendiamkan selama empat hari ataupun lima hari adalah sudah melebihi batas dikatakan banyak, sehingga, seorang yang mendiamkan melebihi tiga haripun bisa dikatakan berlebihan ataupun melampaui batas kewajaran. Apalagi mendiamkan atau katakanlah saling bermusuhan adalah hal yang sangat membahayakan. Dan telah jelas bahwa, setiap sesuatu yang melampai batas adalah terlarang. Sabda Nabi: إِ يَّاكُمْ وَ الْغُلُو، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُو “Berhati-hatilah kalian dari bersikap ghuluw (melampaui batas), karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah karena berbuat ghuluw.” (HR. Al Bukhari) هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ ( ثَلاَثً) “Binasalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”. (HR. Muslim) Barangkali memang benar bahwa, lama dan tidaknya proses penyembuhan kemarahan tergantung daripada tingkat kemaran tersebut. Seorang yang kemarahanya sangat akut mungkin akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menyembuhkanya. Namun jika kita memiliki niat kuat dan mau berusaha semaksiamal mungkin untuk menyembuhkan kemarahan tersebut, penulis yakin masa tiga hari lebih dari cukup. Ini bukan hanya sekedar isapan jempol, namun karena penulis juga seorang manusia yang sedikit banyak pernah mengalaminya sendiri. Terlepas dari itu, bilangan tiga memang memiliki keistimewaan tersendiri. Tak sedikit hal-hal yang dibatasi dengan bilangan tiga tersebut. Semisal dalam konteks seorang yang meninggalkan sholat. Jika ada orang yang meninggalkan sholat maka langkah pertama harus di lakukan adalah mengingatkan dan mengajaknya untuk melakukan sholat dan memberikan peringatan kepadanya. Ketika dia telah diperingatkan dan diajak melaksanakan sholat tetap saja tidak mau, maka dia boleh dibunuh. Namun ulama memperbolehkan di bunuh setelah dia dipenjarakan terlebih dahulu sampai tiga kali sebagai bentuk peringatan. Namun ketika telah dipenjarakan tiga kali dia tetap enggan melakukanya, maka hukuman terakhirnya adalah dibunuh.{10} Dipenjarakan terlebih dahulu sampai tiga kali adalah contoh konkret betapa bilangan tiga ini memiliki arti tersendiri. Ketika telah diperingatkan dengan cara dipenjarakan tiga kali (sebagai tenggang waktu agar ia bertobat) tetap tidak mempan—padahal tiga kali termasuk banyak—berarti dia memang telah buta hatinya dan keterlaluan dalam ingkarnya. Dalam konteks Izâlah al-Najasah (menghilangkan najis), ketika ada najis yang warna dan rasanya sulit dihalangkan, maka sesuatu yang terkena najis tersebut dihukumi suci—walaupun warna dan baunya masih tetap ada. Sedang batasan dikatakan sulit dan tidaknya adalah, jika telah di basuh (dibersihkan dengan air) tiga kali namun tetap saja warna dan bau najis tersebut tidak hilang maka dikatagorikan sulit untuk dihilangkan, sehingga sesuatu yang terkena najis tersebut dihukumi suci.{11} Disini nampak bahwa, bilangan tiga adalah bilangan yang tergolong banyak. Agama tidak ingin memberatkan hambanya dengan mengharuskan memnghilangkan warna dan bau najis tersebut dengan membasuhnya berulang-ulang sampai melebihi tiga kali, karena berusaha menghilangkan tiga kali merupakan usaha yang tergolong sudah banyak dan telah maksimal. Seperti itulah bilangan tiga yang tidak sedikit dijadikan standar dalam berhukum. Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain, namun agaknya akan sangat berjubel jika penulis sebutkan semua dalam catatan mini ini—dan barangkali justru akan membuat pembaca males untuk membacanya. Namun pebulis yakin, suatu saat pembaca akan menemukan sendiri contoh-contoh bilangan tiga yang digunakan sebagai setandar penetapan sesuatu dalam berhukum. Salah satunya—menurut penulis—adalah masa tiga hari yang di dalamnya kita dimaafkan mendiamkan. Masa tiga hari tersebut adalah kesempatan yang maksimal untuk berusaha menghilangkan amarah. Sehingga ketika telah melebihi tiga hari, maka dia telah melebihi batas maksimal yang telah Allah tetapkan. Ketika manusia tidak dapat memanfaatkan waktu yang banyak tersebut, maka itu adalah kesalahan manusia itu sendiri. Sedang Allah tidak dapat disalahkan ketika memberikan dosa kepadanya karena Dia telah memberikan waktu yang maksimal untuknya. Okelah penulis sebutkan beberapa lagi contoh yang lain. Nabi, dalam menyampekan hadits kadang juga mengulang-ulang sampai tiga kali agar para sahabat yang mendengarkanya dapat memahaminya dengan baik dan menghafalnya. Samisal dalam hadits diatas yang menjelaskan masalah ghuluw (melampaui batas) nabi menyebutkanya tiga kali. Ini penulis sebutkan kembali haditsnya: هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ ( ثَلاَثاً) “Binasalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”. (HR. Muslim) Dalam hadits yang lain Nabi juga mengulang-ulang perkataanya sampai tiga kali: "di riwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa suatu ketika Nabi shollallahu 'alaihi wasallam beserta Muadz bi Jabal berboncengan diatas pelana kuda, Nabi berkata:"Hai Muadz bin Jabal", Mu'adz berkata "sendiko dawuh (iya) wahai Rasulullah…";(sampai tiga kali Rasul mengulang-ulang panggilanya itu); lalu beliau berkata "tiada seorangpun yang bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dengan tulus dari lubuk hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan dia masuk neraka"(HR Al-Bukhari); . "Dar sahabati Anas dari Nabi shollallahu'alaihi wasallam, bahwa Beliau ketika berbicara dengan suatu kalimat maka Beliau mengulangnya sapai tiga kali sehingga bisa di fahami. Dan ketika Beliau mendatangi suatu kaum maka Beliau mengucapkan salam kepada mereka tiga kali";. (HR. Al-Bukhari). {12} ""Dari Abu Hurairah RA. Dia berkata "Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda "…Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). (HR. Muslim). Dalam hadits ini Nabi menunjuk dadanya tiga kali. Pertanyaanya, mengapa Beliau Nabi mengulang tiga kali?, bukan dua atau empat kali?. Penulis kira jawabanya tak jauh beda dengan jawaban status tiga hari yang didalamnya di perbolehkan mendiamkan orang lain. Bahwa tiga kali adalah bilangan yang bijaksana dan seimbang, tidak sedikit juga tidak terlalu banyak, bahkan hanya sekedar banyak. Dikatakan bijaksana dikarenakan tidak sedikit namun juga tidak terlalu banyak sehingga dikatakan berlebihan. Sekali lagi penulis katakan bahwa, sebenarnya masih banyak contoh bilangan tiga yang di jadikan batasan dalam berhukum. Namun untuk selanjutnya penulis serahkan kepada penbaca agar mau kiranya mencari sendiri contoh-contoh tersebut. Namun penulis yakin, suatu saat para pembaca dengan sendirinya akan menemukanya. Kemudian, sebagaimana yang telah penulis katakan diatas bahwa, saling mendiamkan selama tiga hari sebenarnya masih terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Pendapat yang pertama telah penulis sebutkan diatas bahwa, yang di haramkan adalah mendiamkan melebihi tiga hari, sedang untuk tiga harinya di maafkan (baca di perbolehkan). Pendapat yang kedua berpandangan bahwa, hadits tentang larangan mendiamkan seseorang melebihi tiga hari tidak memberikan pengertian bahwa, mendiamkan tiga hari diperbolehka. Maksudnya, menurut mereka, baik mendiamkan satu hari, dua hari, tiga hari ataupun selebihnya sama-sama tidak diperbolehkan. Pendapat yang kedua ini adalah pendapat para ulama yang mengatakan mafhum mukhalafah tidak bisa di jadikan argument. .{13} Seperti itulah analisa sederhana penulis. Sekiranya penulis cukupkan sampai disini dulu. Akhirnya, penulis mohon maaf karena penulis yakin catatan mini ini tak luput dari yang namanya kesalahan dan kekurangan disana sini yang harus dibenahi. Maklum kiranya, karena keberadaan penulis yang saat ini memang masih dalam tahap belajar. Karena itu, penulis akan sangat berterimakasih jika diantara pembaca yang budiman ada yang berkenan untuk mengoreksi kemudian melengkapi segala kekurangan dalam catatan ini. Apa yang penulis paparkan bukanlah konklusi akhir dari suatu pembahasan, bahkan hanya sekedar kesimpulan sementara yang masih memerlukan pembahasan lebih lanjut dengan referensi yang lebih memadai. Toh demikian, semoga catatan sederhana ini bermanfaat untuk siapa saja yang membacanya. Mininal sebagai tambahan wacana kita tentang keluhuran dan kemulyaan akhlak yang di bawa Islam sekaligus sebagai bahan renungan untuk merangsang otak kita agar senantiasa selalu berfikir progresif. Sekian terimakasih. Wallahu a'lam bishshawâb. ___________________________________________________________ [1]. Lihat kitab Shahîh Muslim Bi Syarkh al-Nawawiy, juz 16, "Babu Tahrîm al-Tahâsudi Wa al-Tabâghudzi Wa al-Tadâburi", hal.174. Lihat pula kitab Sunan Abiy Dâwud, Juz 5 "Babu Fiman Yahjuru Akhahu al-Muslim. Atau dalam Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba'în al-Nawawiyyah", hal.289. [2]. Lihat kitab Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba'în al-Nawawiyyah, hal.289. [3]. Ibid, hal.289. Dan lihat kitab Syarkh Shahîh Bukhari, karya Ibnu Bathâl, "Kitab al-Adâb, Bâbu Mâ Yajûzu Min al-Hijrân Liman 'Ashâ". Lihat juga kitab Al-Istidzkâr karya Ibnu Abd al-Bar, Juz 8, hal. 290, Maktabah al-Syâmilah. [4]. Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrâhîm bin al-Khathâb, Ma'âlim al-Sunan Syarkh Sunan Abî Dawûd, Juz 5, hal.135, Bâbu Fîman Yahjuru Akhâhu al-Muslim. [5]. Al-Imam al-Nawawiy, shahîh Muslim Bi Syarkh al-Nawawiy, Juz 16, hal.177. [6]. Lihat kitab Al-Istizdkâr, karya Ibnu Abd al-Bar, Babu Mâ Jâ'a Fi al-Muhâjarah, Maktabah Syâmilah, Juz 8, hal. 288. [7]. Lihat "Babu al-Qiyas, Qiyâs al 'Illah" dalam kitab Syarhul Waraqât Fi Ushul al-Fiqh, Karya Muhammad al-Hasan al-Dadau al-Syanqaithiy, Maktabah Syamilah al-'Ishdar al-Rasmiy al-Awal. [8]. Husni Abd al-Jalîl Yusûf, Tashîl Syarh Ibnu 'Aqîl Li Alfiyyah Ibnu Malik, hal.36. [9]. Lihat Hasyiyyah al-Syaikh Ibrahîm al-Bajûriy juz 1, hal.264, Dâr al-Fikr, Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât. [10]. Lihat Muhâdharât Fi Fiqh al-'Ibadât, hal.104 (mata kuliah Syari'ah Wa al-Qanûn Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir). [11]. Lihat Hasyiyyah al-Syaikh Ibrahîm al-Bajûri, Jus 1, hal.154. Dâr al-Fikr, Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât. [12]. Dr. al-Khusyû'i al-Khusyû'i Muhammad al-Khusyû'i, Tarîkh al-Sunnah al-Nabawiyyah, hal.57. Dan Muhammad Amrullah, Lenturnya Metode Nabi Dalam Aspek Pendidikan Episode ke Dua di http://muhammadamrullahelazhariy.blogspot.com/2011/03/3.html#more. [13]. Lihat kitab Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, juz 16, Babu Tahrîmu al-Tahâsudi wa al-Tabâghu wa al-Tadâburi hal.174.

Selasa, 23 Oktober 2012

RUU kesetaraan gender bahan “spirit dekonstruksi”

21 April sudah lewat, berlalu dilewati hari dan berganti bulan. Namun hari yang lekat dengan segala kesibukan yang beraroma kartini itu masih berdengung. Mencuatkan tingkah dari kaum hawa dengan warna yang berbeda-beda. Dari sekedar mengenang kartini yang memperjuangkan kaumnya untuk bisa belajar sampai memunculkan gagasan baru yang mereka anggap meneruskan perjuangan kartini. Mengesahkan RUU “kesetaraan gender”, adalah salah satu gagasan yang terus di upayakan para perancangnya, yang dianggap sebagai penerus perjuangan kartini untuk memperjuangkan hak perempuan. Bila disimak lebih detail ada perbedaan yang cukup jauh antara perjuangan kartini dengan RUU “kesetaraan gender”. Kartini memperjuangkan pendidikan yang setara antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki, alasannya jelas. Dilihat dari sudut manapun pendidikan itu penting, terutama sebagai seorang ibu yang menjadi pamong utama bagi anak-anaknya. Dalam ajaran agama islam tentulah ada alasan dan dasar yang kuat untuk memperjuangkan hak perempuan agar memperoleh pendidikan yang layak. Yakni, menuntut ilmu wajib bagi kaum laki-laki dan perempuan (hadist Muhammad SAW). Wajib hukumnya, fardhu ‘ain, yang tidak melaksanakan atau menghalangi tentulah ada konsekuensi yang harus diterima. Sedangkan RUU “kesetaraan gender” selain alasan dan tujuan tidak logis juga menimbulkan multi tafsir. Dalam Bab I pasal 1 menyebutkan: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang berbunyi: “…discrimination against women shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.” Definisi di atas, dalam batasan tertentu, mengesankan muatan spirit dekonstruksi. Sebab dalam ilmu sosial, aturan maupun undang-undang biasanya dibuat untuk menyikapi dan mengantisipasi gejala sosial yang ada atau mungkin akan terjadi. Lalu apakah selama ini di Indonesia secara umum telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah perempuan menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya? Redaksi pengertian “diskriminasi” dalam RUU di atas bisa diinterpretasikan untuk membuka perlindungan terhadap segala bentuk kebebasan yang dikehendaki perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan agama, keluarga dan ikatan perkawinan. Konsekuensinya, negara harus melegalkan undang-undang tentang hak melakukan aborsi bagi perempuan yang berusia 18 tahun keatas, pernikahan beda agama dan pernikahan sesama jenis. Termasuk juga hak istri mengadukan suaminya kepada pihak berwajib atas tuduhan pemerkosaan. Dalam wacana gender, isu ini dikenal dengan istilah marital rape, yaitu hubungan seksual yang tidak dikehendaki atau tanpa persetujuan sang istri. Alangkah lebih baiknya jika para anggota dewan yang terhormat dan komnas perlindungan perempuan menfokuskan kepada pembelaan terhadap masalah-masalah riil yang dihadapi kaum perempuan dan semua pihak saat ini. Misalnya, masalah pemberantasan human trafficking dan memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mall-mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya (nursing room for breastfeeding mothers), memberikan masa cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan minimal selama setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun atau lebih, menyediakan persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, dan lain sebagainya. Agar tujuan lurus untuk memperjuangkan hak-hak perempuan tidak dibelokan dengan kepentingan lain. Sesegera mungkin mematangkan RUU “kesetaraan gender” yang nantinya menjadi paket komplit bagi perempuan Indonesia yang tidak menimbulkan konflik. Perempuan adalah tiang Perempuan bukan hanya pintu pembuka, bukan pula atap tempat berteduh, ia bukan alas tempat kaki berpijak, bahkan bukan dinding sarana penutup aib dari pandangan orang. Ia adalah tiang, dan sekali lagi untuk sifat tiang jika ia dirobohkan roboh pulalah seluruh bangunan. Dengan segenap perbedaan perempuan dan lelaki dicipta berlainan. Mengapa harus menuntut persamaan hak dan kesejajaran jika perbedaan itu bukan sebuah perendahan namun justru pemuliaan kalau kita cerna lebih dalam. Sebagai contoh hak talak, ia hanya dimiliki kaum laki-laki adalah cara paling aman untuk menghindari perceraian, karena bagaimanapun perempuan lebih mudah hanyut dalam perasaan dan mudah terbawa emosi dibanding kaum lelaki yang logika lebih bermain untuk mereka. Ketika perasaan seorang perempuan terkoyak, berpikir logis adalah nomor sekian yang ada dibenaknya hanya menyelamatkan perasaannya, termasuk meminta perceraian atau hal-hal ekstrim lainnya yang tentu saja tidak dipikirkan dengan teori logika yang tepat. Maka ketika perempuan membicarakan kesetaraan gender mereka tidak sedang melakukan kecuali berpindah kodrat dan kembali pada nilai yang kurang tepat menumbuhkan spirit dekonstruksi, merapuhkan inti utama sebuah bangunan (tiang). Sungguh bukan sedang menuju kesempurnaan. Karena kesempurnaan perempuan adalah ketika ia menjadi tiang. tempat sandaran untuk anak-anaknya. Tempat keluh kesah suaminya. Maka,wahai para tiang, tak usah ingin menjadi atap, pintu, dinding atau yang lain. tetaplah menjadi tiang yang menjalankan fugsi tiang, karena bagaimanapun yang terpenting dalam sebuah tatanan adalah tiang, langkah awal perubahan semua bergantung dari engkau. ketika engkau kokoh dan tegar seluruh bangunan menjadi demikian.

Jumat, 28 September 2012

Jemput Aku Jika Waktunya Tiba

Sayang.. Aku sedang mempersiapkan diri Membentuk hati supaya kelak menjadi yang terindah buatmu Belajar dari Siti Hajar yang dengan sabar dan Tanpa mengeluh menghadapi segala dugaan yang Allah berikan Belajar dari Siti Khadijah yang setia dan Tanpa lelah menemani Rasulullah dalam perjuangannya Meski kelak aku tak bisa sedewasa dan sesabar itu Belajar dari aisyah yang selalu riang menyambut rasulullah dengan senyum ikhlas Belajar dari kekasih yang setia menunggui Arjuna Belajar dari Raihana yang tak lelah mencintai dan memberi ketulusan pada suaminya Dan belajar pada isteri-isteri teladan yang lain Yang suatu masa akan aku tanamkan pada diriku....... Sayang.. Akan aku simpan kesucian cintaku untukmu Untuk engkau yang nanti akan memberi cinta Dan ketulusan serta perlindungan padaku Untuk engkau yang telah Allah gariskan menjadi sebahagian dariku Kerana aku potongan tulang rusukmu. Sayang.. Aku selalu berdoa sehingga nanti aku menjadi isteri solehah yang setia Dan dengan tulus mengabdikan hidupku untukmu keranaNya aku akan berusaha menjaga hati untukmu yang kelak menjagaku selalu. Sayang... aku masih disini, menata hati untuk tetap kuat meski tak setegar karang,, Jemputlah aku jika waktunya tiba dan aku akan setia menunggumu..

Minggu, 01 Juli 2012

LELAH

Lelah....
Setelah langit setelah matahari yang berwarna cerah adalah harapan,,
terus melangkah, jangan pernah lelah untuk berharap, berdoa,
dan melakukan kebaikan untuk hidup yang lebih baik...
karena di setiap jengkal langkah yang melelahkan
ada janji Sang Maha Kasih yang akan menghadiahkan kebaikan untuk kita...
Lelah....
Tersenyum dan tersenyumlah ketika kau lelah
karena senyum kita akan sedikit mengurai rasa lelah...
seperti magnet yang menarik rasa lelah itu,
kemudian meleburkannya menjadi butir-butir semagat yang tak melelahkan
Lelah....
ketika lelah, ingatlah orang-orang yang mempengaruhi hidupmu,,,
keluarga, dan teman-teman,,,
mereka akan menjadi serbuk yang meluluhkan rasa lelah.....
lelah....
rasa yang pasti dan selalu ada...
setiap kita melakukan banyak hal
menepiskan sendi-sendi mimpi yang tersusun rapi...
mendera, menerjang tawa, merobohkan asa
kemudian membekukan kedewasaan..
lelah....
tak perlu kita usir...
biarkan tetap ada, karena ia akan pergi dengan sendirinya
bersama waktu yang terus berlalu
meninggalkan cerita kala kita bosan...
lelah....
adalah kata yang menginspirasiku
menyusun kalimat, membuat kisah fiksi
yang InsyaAllah,,, akan menjadi inspirasi anak negeri,,,,
Dan....
lelah...
adalah satu kata yang mewakili setumpuk cerita
tentangmu yang jauh disana..
tentang keadaanmu....
tentang harimu....
SEMANGAT LEK.....^_^
aku disini,,,,
semoga tak pernah lelah berdoa untukmu....
untuk kebaikanmu,,,,, ^_^
(Minggu, 01 Juli 2012)

Jumat, 13 April 2012

akhwat sejati


Sering kita mendengar seorang muslimah yang merasa dirinya sebagai akhwat sejati, tapi apa benar cermin yang ia lihat tentang dirinya adalah kesempurnaan seorang akhwat...??? standar kesempurnaan itu akan berbeda dari sudut yang berbeda, tapi hanya Allah yang tahu kesempurnaan sejati.

Salah satu ciri seorang akhwat adalah ia yang selalu semangat dan istikomah dalam jalan dakwah, yang bisa menjaga izzah, tidak kenal lelah dalam berjuang. Yang selalu mengucapkan azzam di jalan Allah dan terus mencari kesempurnaan menjadi akwat sejati. sebab..........

Akhwat sejati tidak dilihat dari jilbabnya yang anggun, tapi dilihat dari kedewasaannya dalam bersikap
Akhwat sejati tidak dilihat dari retorikanya ketika mempertahankan pendapat, tapi dilihat dari kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan
Akhwat sejati tidak dilihat dari banyaknya ia berorganisasi, tapi sebesar apa tanggung jawabnya dalam menjalankan amanah
akhwat sejati tidak dilihat dari kehadirannya dalam syuro’, tetapi dilihat dari kontribusinya dalam mencari solusi pada suatu permasalahan
Akhwat sejati tidak dilihat dari tasnya yang selalu membawa Al Quran,tetapi dilihat dari hafalan dan pemahamannya akan kandungan Al Qur’an tersebut
Akhwat sejati tidak dilihat dari aktifitasnya yang seabrek, tapi bagaimana ia mampu mongoptimalkan waktu dengan baik.
Akhwat sejati tidak dilihat dari penguasaan ilmunya yang segunung, tapi bagaimana ia mengajarkan ilmunya pada orang lain
Akhwat sejati tidak dilihat dari tundukan matanya ketika interaksi, tapi bagamana ia mampu membentengi hati
Akhwat sejati tidak dilihat dari partisipasinya dalam menjalankan kegiatan, tapi dilihat dari keikhlasannnya dalam bekerja
Akhwat sejati tidak dilihat dari shalatnya yang lama tapi dilihat dari kedekatannya pada Rabb di luar aktivitas shalatnya
Akhwat sejati tidak dilihat dari rutinitas dhuha dan tahajud, tapi sebanyak apa tetesan air mata penyesalan yang jatuh ketika sujud
Akhwat sejati tidak dilihat dari kecantikan paras wajahnya, tetapi dilihat dari kecantikan hati yang ada dibaliknya
Akhwat sejati tidak dilihat dari bentuk tubuhnya yang memesona, tapi dilihat dari sejauh mana ia mampu menutupi bentuk tubuhnya
Akhwat sejati tidak dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tapi dilihat dari apa yang sering ia bicarakan
Akhwat sejati tidak dilihat dari keahliannya berbahasa, tapi dilihat dari caranya berbicara kesantunannya dan kesadaran pada siapa ia bicara
Akhwat sejati tidak dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian, tapi dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya
Akhwat sejati tidak dilihat dari kekhawatirannya digoda orang di jalan, tapi dilihat dari kekhawatiran dirinya yang membuat orang di jalan tergoda
Akhwat sejati tidak dilihat dari seberapa banyak dan besar ujian yang ia hadapi, tapi dilihat dari sejauh mana ia menghadapi ujian itu dengna penuh rasa syukur
Akhwat sejati tidak dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tapi dilihat dari sejauh mana ia bisa menjaga kehormatannya dalam bergaul..
dan,,,,,,
kesempurnaan hanya milik Allah.... setitik tawa yang mewakili pengakuan pribadi telah sempurna akan merontokan bangunan yang mendekati kesempurnaan, sebab setitik tawa itu adalah kesombongan yang di tanam musuh sejati (syetan) untuk merobohkan akidah.
be a true muslimah

kau bilang "kakak pertama"

ini adalah adalah catatan sari sahabat baikku,,, tentang aku... yang teramat berharga,,, tersanjung dan entah apalagi,,, yang pasti aku sangat berterimakasi....

kau bilang aku kakak pertama, panggilan yang tak sengaja hinggap... padahal ada yang lebih dewasa, bujaksana dan lebing pantas menyandang panggilan itu... yah,,,, mungkin karena aku yang lebih awal melihat pesona bumi...

dan adik,,,, aku tak canggung atau enggan dengan panggilan itu...

kau bilang aku "kakak pertama"


"KAKAK PERTAMA"
aku pikir itu keangkuhan, ketidaksabaran,dan amarah yang kadang membuncah lalu teredam tanpa tertebak...

Lalu kau, gadis ayu dari tanah keluguan
Menangis pasrah dalam pelukan

Pikiranku berubah, itu bukan keangkuhan...
Kau justru bumi itu sendiri
yang terinjak, namun tetap menumbuhkan kehidupan baru dari sela bebatuanmu..

bagaimana ku kabarkan pada dua cahaya.
Lucunya harga dirimu menyembunyikan semburat merah disisi hatimu.

Memandangi bait-bait rangkaian kata, yang indah namun menggelitik...
Kau tentu mengerti kenapa..
Aku teringat dusta-dusta itu,,,yang bagiku justru adalah kejujuran yang nyata.
Kukira melebihi dugaanku betapa berharganya bagimu

Mata cokelat yang tajam, jiwa tegar yang tak mau mengalah, hati lembut yang berbalut takwa.. Tingkah konyol namun dewasa.
Sebentuk raga dibalik hijab yang tertata, manis..
kemandirian yang manja..
Kata yang tegas dengan cara yang lembut namun mematikan.
Kau lawan sekaligus kawan yang nyaris sempurna.


@Erni,,,,,,,

tombak bangsa

Profesional, islami, berkompetensi

Guru adalah profesi yang memerlukan keahlian khusus. Guru sebagai tenaga pendidik berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dan dinamis. Ia mempunyai komitmen profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, memberi tauladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Menurut Pindarta dalam syarifudin (2007) untuk memperkuat profesinya seorang pendidik perlu memiliki sikap suka belajar, mengetahuai cara belajar, memiliki rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, memiliki etos kerja produktif dan kreatif, serta puas terhadap kesuksesan yang dicapai dan berusaha meningkatkannya.
Banyak cara yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kinerjanya dan layak disebut sebagai guru profesional. Namun, profesional secara umum belum bisa menjamin keberhasilan guru yang mengemban amanat mendidik dan membimbing siswa, tidak hanya menjadi siswa yang cerdas secara intelektual tapi juga memiliki kecerdasan sosial, dan kecerdasan religi. oleh karenan itu profesionalisme harus di lengkapi dengan pola-pola akidah yang mampu menopang guru menjadi figur yang religi dan mengantarkan peserta didik pada kecerdasan secara untuh.

beberapa hal perlu diperhatikan untuk bisa menjadi guru yang profesional dan islami
1.Cerdas, dengan kecerdasan yang dimiliki oleh seorang guru maka ia akan dengan mudah membawa anak didiknya pada pengetahuan yang luas sehingga siswa memiliki kompetensi pada jenjang selanutnya
2.Ikhlas, yaitu apa dilakukan guru sebagai tenaga pendidik tidak semata-mata untuk menambah pundi-pundi kantong/menghasilkan uang tetapi ikhlas membibing generasi bangsa yang berkarakter serta menjadi anak yang soleh dan soleha
3.Tuntas, yaitu menyampaikan materi secara keseluruhan dan memberikan pemahan- pemahaman yang kaffah (menyeluruh) tidah sepotong-potong
4.jujur, Guru sebagai human modeling (manusia model) tentu memiliki pengaruh yang sangat setrategis dalam mempengaruhi karakter siswa. Kejujuran yang ditampilkan guru menjadi harta berharga menghadapi masa depan yang kian rawan dengan kecurangan. Jujur, dengan penampilan, ucapan, dan tindakan.
5.syukur, Segala hal akan sia-sia belaka bila tak diiringi dengan rasa syukur. tak semua kesulitan yang dihadapi adalah petaka. maka syukur menjadi pawang akan bertambah atau berkurangnya sebuah kenikmatan di kemudian hari. Pekerjaan mulia sebagai seorang guru harus di syukuri dengan segala kelebihan dan kelemahannya.

Bekal selanjutnya yang cukup penting adalah ilmu pedagogik,didaktik, dan metodik. Ilmu pedagogik ialah ilmu seorang guru bagaiman ia membesarkan dan mengasuh anak. Ilmu didaktik ialah ilmu tentang hal ikhwal bagaiaman ia membuat persiapan mengajar. Dan ilmu metodik ialah ilmu tentang hal ikhwal cara mengajarkan ilmu tertentu seperti kesenian, menyanyi, menggambar, dan pekerjaan tangan. Ketiga hal tersebut harus meresap dalam diri seorang guru dan menjadi salah satu senjata ampuh menumpas kebodohan bangsa.

Terakhir, hala utama yang harus mengiringi guru adalah empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesiaonal. Empat karakter tersebut di uraikan menjadi poin-poin penting yang wajib di laksanakan guru dalam pembelajaran.
1.Pedagogik, terbagi menjadi tujuh komponen yaitu:
a.Menguasai karakteristik peserta didik
b.Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik
c.Pengembangan kurikulum
d.Kegiatanpembelajaran yang mendidik
e.Pengembangan potensi peseta didik
f.Komunikasi dengan peserta didik
g.Penilain dan evaluasi
2.Kepribadian, kompetensi tersebut teruai menjadi tiga poin
a.Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional
b.menunjukan pribadi yang dewasa dan teladan
c.Etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, dan rasa bangga menjadi guru
3.Sosial, terbagi menjadi dua bagian
a.bersikap, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif
b.Komunikasi dengna sesama guru, tenaga kependidikan, orangtua, peserta didik, dan masyarakat.
4.Profesional, juga terurai menjadi dua bagian
a.penguasaan materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu
b.mengembangkan keprofesionalan melalui tindakan yang reflektif.

Guru adalah manusia biasa yang memiliki kelemahan dan segala fitrah yang melekat seperti manuasia pada umumnya. Bukan hal yang menggemparkan ketika seorang guru melakukan tindakan-tindakan ekstrim yang tak biasa. Namun, akan menjadi sebuah kenistaan ketika figur guru tak lagi menjadi pembangun, duduk sama rendah bersama peserta didik menyebulkan asap rokok, berlomba dengan peserta didik mengejar gemerlap dunia.
Tidak ada yang sempurna, berusaha menjadi yang lebih baik adalah satu dari sejuta jalan melirik kesempurnaan. agar esok lebih baik dari hari ini....
karena, guru adalah tombak bangsa,,,

Selasa, 10 April 2012

kanggo simbok

My first, my last, my everything..
And the answer to all my dreams..
You’re my sun, my moon, my guiding star..
My kind of wonderful, that’s what you are..

I know there’s only, only one like you..
There’s no way they could have made two..
You’re, you’re all I’m living for..
Your love I’ll keep for evermore..
You’re the first, my last, my everything..

In you I’ve found so many things..
A love so new, only you could bring..
Can’t you see if you..
You’ll make me feel this way..
You’re like a first morning dew on a brand new day..

I see so many ways that..
I can love you..
Till the day I die..

You’re my reality, yet I’m lost in a dream..
“YOU’RE MY FIRST, MY LAST, MY EVERYTHING”

Jumat, 23 Maret 2012

abu-abu jadi perak


Mulanya bingung.... Apakah Allah berkata IYA, TIDAK, atau BELUM untuk semua pertanyaan. Kemudian Allah memberikan satu kalimatnya lagi, masih juga bingung,,,, tak bisa membaca, kalimat apa yang Allah tiupkan hari ini. Semua tak jelas karena mungkin, tak mampu membacanya dan tak berusaha membacanya dengan seksama, hingga... Tampak abu-abu...

Kebingungan yang kian membingungkan, hanya meratapi semua yang terjadi. seperti kabut setelah terik dan sebelum hujan, seolah langit akan runtuh,,, tertatih kian kemari mengorek satu jawaban dengan harapan akan ada kepastian. namun tak jua tampak, bahkan yang ada adalah warna yang menjauhi putih makin mendekati hitam, hingga.... tampak abu-abu...

Tidak juga berubah, tak lagi putih juga belum hitam. sesekali tak mau memikirkan hal yang tidak punya warna pasti, tapi terus saja menelusup dalam otak yang kadang santai menanggapi kerumitan di sela kesibukan. sampai akhirnya terpikir lagi hal yang tak cukup penting itu... seperti menatap waktu yang menakutkan. bukan hari yang cerah juga buka malam yang pekat, tapi diantara keduanya,hingga.... tampak abu-abu...

Benarkah..... warna abu-abu itu abu-abu....???
belajar dari putih matahari, warna putih itu tidak hanya putih tapi punya spektrum warna yang luar biasa indah...seindah pelagi. tak jauh beda dengan keindahan warna aurora yang berkutat di kutup sana.

Cobalah... pandang warna abu-abu itu dari sudut lain, dari arah yang membuat pandangan lebih nyata, hingga mampu membuat pernyataan bukan sekedar pertanyaan... dan kalaupun ada pertanyaan yang datang, pertanyaan yang menghadirkan kelegaan, dan melahirkan warna nyata... bukan kebimbangan... bukan abu-abu..

Adalah perak.... itulah warna nyata dengan segenap kemewahannya dan tak mengesampingkan kesederhanaan. Perak... warna sang juara meski tak sebaik emas, perak... bukan yang terbaik tapi akan hadir dengan hal ter unik yang ia miliki.
Perak... transformasi abu-abu,,, memandang abu-abu si warna kusam itu dari sudut positif akan lebih menarik dan menenangkan..

Warna yang ada, bisa berubah semu dan maya tanpa diduga. Segala hal yang tidak terpikirkan kadang terjadi dengan penuh kejutan, tak di sangka-sangka,,, tidak akan tampak hal yang belum terlewati.. sebab semua akan terjadi bila Allah berkehendak... itu pasti...

Tapi...
Apakah ada hal yang tidak bisa Allah lakukan???
Jawabnya mungkin tidak. Semua hal bisa Allah lakukan, karena Allah Maha Kuasa, Pencipta Alam semesta yang hanya dengan kedipan mata bisa melakukan segalanya.... jadi tidak ada hal yang tidak bisa Allah lakukan....
Berpikir sejenak... jawaban itu benar, tapi mungkin kurang tepat... karena ada hal yang tidak bisa Allah lakukan, dan tidak akan pernah bisa Allah lakukan sampai kapanpun, bahkan sampai akhir zaman...
Itu adalah ingkar JANJI, Ya.... Allah tidak akan pernah ingkar janji... Allah tidak bisa melakukan itu... bahkan dengan tegas dituliskan dalam kalamNYA... betapa nyata janji Allah itu. Sungguh.... Allah tidak akan pernah ingkar janji...
Mengabulkan permohonan hambaNYA yang meminta dengan sungguh-sungguh,, mengabulkan semua doa hambanya, memberi pada yang meminta dan mengharap hanya padaNYA.. ITU JANJI ALLAH...
Mengubah nasib hambaNYA, jika si hamba mau berusaha merubahnya... ITU JANJI ALLAH....
Allah tidak akan mengingkari janjiNYA, tidak akan,,,,,
yakinlah doa akan terkabul, sekarang,,,, esok,,, di ganti dengan yang lebih baik,,, atau di tunda dan di berikan di akhirat kelak.... yang pasti Allah akan mengabulkan setiap permohonan hambanya..
Dan...... yakinlah.. abu-abu akan menjadi perak....
hal yang membingungkan segera punah.... dan kemudian kaupun tahu Allah berkata IYA, TIDAK, atau BELUM untuk semua bertanyaanmu..

Selasa, 28 Februari 2012

udan woh

Pagi yang cerah, semua penghuni kaki gunung berduyun-duyun menuju tempat mencari nafkah. berbekal cangkul, sabit, dan macam alat pertanian lain, melangkah dengan yakin dan penuh harap pada hasil kebun.

masih teramat dini ketika langit yang biru cerah berubah jadi gelap pekat. Hanya dalam hitungan menit si pekat menjatuhkan segala isi dari ketinggian sekian meter.. dan byur........ lebat, deras, air tercurah tanpa jeda.

Ada yang berbeda dengan biasanya, hujan pagi ini terasa betul di atap rumah, bunyinya tak lagi tik, tik, tik. Beda sekali, sebab hujan pagi ini disertai butiran es kecil, penduduk desa menyebutnya “udan woh” hujan yang berbuah, pantas dikatakan buah karena memang seperti buah-buah air yang jatuh bersama hujan.

Ini adalah “udan woh” pertama yang aku lihat setelah belasan tahun lamanya, dulu... dulu sekali saat aku masih berseragam merah putih, sering melihat, bahkan menikmati. Membawa ”tampah” sebagai penadah butiran es kecil, dan dengan girang memakan butiran-butiran itu.

Adalah hal yang teramat menyenangkan ketika bisa berlari kian kemari mencari buah hujan itu, mengumpulkan dan memakannya. Anugrah luar biasa untuk penduduk lereng gunung. Tapi... ada setumpuk kekhawatitran di sela tawa. Gunung yang sudah tua, dengan pohon yang hampir tiap hari di tebang, untuk menopang hidup agar tetap bisa mengisi panci atau ditebang sekedar untuk menghangatkan tubuh. Berapa tahun lagi bisa bertahan? dengan guyuran sederas ini??? jika pepohonan penadah air terus direnggut.

Wallahu ‘alam... hanya Allah yang tahu, Bersama hujan Allah menurunkan rizki hingga kedatangannya patut disyukuri, bahkan salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah dikala hujan. Bersyukur.... Memuji keagunganNYA, dengan harap akan ada kebaikan yang mengalir setelah hujan mereda.

Harapan itu lumrah. Namun, apa pantas,,, hanya berharap tapi tidak diiringi tingkah yang mampu memunculkan harapan itu??? tentu saja tidak... berharap dan pasrah itu untuk membuntuti tingkah. Seberapa besar hal yang di perbuat untuk mengubah keadaan. Di luar kuasa, manusia tak dapat berbuat apa-apa. tapi setidaknya berusaha.... sebab Allah tak akan mengubah keadaan suatu kaum jika ia tak berusaha merubahnya.

Menjaga hutan tetap lestari adalah salah satu usaha agar alam tak murka, hanya menjaga bukan memunculkan atau membuat hutan itu ada, tapi “menjaga” akan menjadi hal paling sulit ketika kesadaran akan pentingnya hutan dan betapa bahayanya hutan gundul tak ada di benak orang-orang masa kini yang katanya mereka adalah “orang modern”.

“udan woh” akan ada lagi dan terus ada, ketinggian gunung yang hampir 2000 m (< > 1800m) diatas permukaan membuat suhu teramat rendah dan hujanpun membeku,,
Kelak akan ada kegirangan saat meninkmati anugrah itu, indahnya “udah woh” menjadi pemandangan menakjubkan, tanpa diiringi kekhawatiran akan rentanya lereng gunung yang sewaktu-waktu merosot, menimbun orang-orang tak berdaya,,,
“udan woh” Penduduk kaki gunung akan girang menyaksikan kedatanganmu. Datanglah bersama sejuta kebaikan untuk kami “penghuni kaki gunung”


Gerlang, 26 Februari 2012

Jumat, 24 Februari 2012

caraku untuk tersenyum

jangan sedih....
mungkin ini terbaik
bukan karena Allah sayang padaku atau padamu saja
tapi karena Allah sayang pada kita
lebih dari anugrahNYA yang membiarkan kita bebas bernafas
yang membiarkan mata berkedip dan jantung berdetak...
yakinlah......
Allah teramat sayang, lebih dari yang kita tahu
karena sering kita tak mau tahu
betapa agung dan indahnya kasih Allah itu...

ini caraku untuk tersenyum...
menata huruf menjadi kalimat,
kemudian menyusunnya menjadi lembaran cerita
yang bertumpuk,,, menyangga hati yang kian lemah..
hanya tidak ingin melewati dengan kebekuan
menyadarkan diri... betapa Allah akan selalu menghiburku
di sela kesibukanku memetik hari yang sangat sering melupakan keagunganNYA

dengan tiba2 akan terkekeh melihat rangkaian cerita yang di dramatisir,,, dan mungkin berlebihan...

aku disini sedang berusaha untuk tidak mengingatmu..
kau juga harus lakukan itu..
demi, hati kita,,
dan hati orang2 yang sedang menjaga hatinya untuk kita "yang msh mjd rhasia

Allah"


untuk orang yang pernah membuat aku tersenyum....
maaf...T T

Jumat, 13 Januari 2012

juara lagi....

hm..... tidak menyangka... bukan anda, anda, dan anda saja yang heran,,, kami juga heran... kenapa bisa??? satu dari 28 SD itu adalah SD gunung... yang butuh 1 jam lebih untuk bisa ke nadi kota, melewati medan yang luar biasa dahsyat.....
kenapa dari 28 SD adalah SD terpencil??? karena usaha dan anugrah tentunya... hingga akhirnya bisa menjadi no 1 di olipiade matematik tngkat kecamatan, setelah sebelumnya no 1 di LCC...

adalah guru2 luar biasa yang dengan ikhlas hilir mudik menaklukan jalanan gunung....
merekalah.... pangkal dari keberhasilan ini.....
terimakasih bapak dan ibu guru....
terimakasih........ kami anak2 SD GERLANG tidak akan melupakan

jasa2mu....