Selasa, 30 November 2010

pesan kilat

Apa? Bukan apa-apa
Yang ada hanya sesuatu yang tak berguna. Sebenarnya sangat bermakna tapi tak bisa memberi makna. Entahlah... segala polah berubah saat hati mulai lelah..
Mencari arti yang sulit di mengerti, oleh diri dan semua penghuni bumi. Meski mimpi-mimpi terus mengiringi tiap bait langkah yang tiada temui tepi. Kata terus membumbung hingga ujung, trus menggunung, dan.. pyar,,,,, pecah berantakan saat kilat menyambar menghampiri langkah kecil. Tersendu, meniti butir bening yang menganak sungai.
Diantara kilat, rintik hujan, dan gumpalan tebal yang membumbung, Kaki kecil tetap berdiri tegak, dengan tangan kosong dan pandangan nanar menilik sekitar “Kalau punya kaki mereka pasti menghindar, kalau punya kaki mereka pasti berlari menghindari hantaman yang kejam” ia terus berteriak dalam kebisuan.
“Tahukah kau teman? Ada jutaan kata dalam tiap kerlip kilat, jutaan kata yang terselip dalam cahaya yang hanya sedetik menghampiri bumi”
Tersenyumlah saat melihatnya
Tambak Lorok, 27 november 2010

Jumat, 05 November 2010

langkah kecil itik

“ Hardi...!!”
Suara wanita itu terdengar jelas walaupun ada diantara deru mobil yang tak henti, dan klakson mobil yang terus bersaut – sautan. Ia tak pedulikan peluh yang tampak jelas di raut wajahnya, tangannya sibuk dengan mangkuk-mangkuk yang penuh berisi mie dan butiran bakso.
“ya bulek, apa lagi?” suara pelan dan tenang mendekatinya, dengan membawa nampan kosong.
“ ini pesanan untuk tiga orang, yang duduk di pojok itu” kata wanita berdaster yang tubuhnya agak gembul sambil menunjuk tiga orang yang sedari tadi duduk di pojok menanti pesanan bakso.
Tanpa menjawab Hardi langsung mengikuti perintah wanita itu, dengan cekatan ia menyajikan pesanan pada pelangganannya,ya... itulah kesibukan pemuda yang akrab dipanggil Hardi, tiga bulan lalu ia datang ke Jakarta, dengan bekal ijasah SMA ia nekat menghampiri ibu kota mencoba mengadu nasib di metropolitan berharap bisa dapatkan kehidupan yang lebih layak. Ternyata ia kurang beruntung, ijasah yang dibawanya tidak cukup menjadi bekal, sudah beberapa kali ia mengajukan lamaran. Di swalayan dan beberapa perusahaan yang ia rasa cocok dengan pendidikannya, namun ia tak juga memperoleh panggilan. Untunglah, ia punya kerabat di jakarta, paman Teguh dan Istrinya mau menampung Hardi sampai ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun Hardi tidak hanya menumpang, karena ia tahu mencari sesuap nasi utuk hidup tidaklah mudah, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan ia membantu Paman Teguh di warungnya.
“ bulek nanti pulang dulu saja ya, saya mau mampir kepasar sebentar” kata Hardi sambil mengelap meja
“ kebetulan Har,nanti sekalian belikan bumbu ya?bumbu di rumah sudah habis” sahut wanita yang masih sibuk mengambil mangkuk-mangkuk kotor. Hardi tidak menyahut ia hanya mengangguk sambil menyunggingkan bibirnya.
Pelan-pelan raja siang kambali keperaduannya, terang berganti pekat. Namun suasana kota tak jua senyap dari kebisingan, truk, sepeda dan mobil mewah lainnya hilir mudik kian kemari, jalan tua seolah bosan dengan semua suasana itu, kalau ia bisa bicara mungkin ia akan berteriak pada semua yang melintasi di atasnya “ hentikan semua ini.. aku letih...” tapi sayang jalan itu hanya benda yang tak bernyawa. Hardi terus menyusuri terotoar sempit, tak ada teman, sesekali ia melepas topinya dan mengipas-ngipaskan kewajahnya.
“ Huffft...” hardi menarik nafas panjang
“benar kata orang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri, aku tidak mau seperti mereka!” batin Hardi, ketika ia melewati para pengemis yang tak bosan menadahkan tangannya di sepanjang terotoar. Sejenak Hardi terdiam, ia tercengang ketika melihat muda mudi yang duduk tenang dipinggir jalan. Tak ada cahaya yang meneranginya. Ini bukan yang pertama ia menyaksikan pemandangan buruk itu, tapi tetap saja ia masih bingung dengan pola hidup masyarakat yang mendeklarasikan dirinya sebagai masyarakat modern. Ini hanya sebagian kecil yang di cafe seberang jalan sana, dan hotel yang menjulang gagah itu?? mungkin masih banyak??
“ heh.. modern..” gumam Hardi sambil mengerutkan dahinya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya, menapaki jalan tak bersahabat itu.
***
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum Salam..” seorang lelaki menjawab salam sambil menghampiri pintu
“oalah le kok sampai malam?” ucapnya, ketika Hardi tampak di depan pintu.
“ iya paman, tadi dari pasar dulu, maaf kemalaman, ini titipannya bulek” jawabnya sambil meletakan bungkusan kantong plastik diatas meja kemudian merebahkan diri di kursi. Di ruangan itu hanya ada sepasang kursi dengan mejanya, televisi kecil dan selembar karpet kusut yang tak begitu lebar. Ruangan itu kian sempit ketika dua anak paman teguh ikut berhambur di ruang kecil itu.
“oya Har, tadi ada titipan surat buat kamu, itu Paman taruh diatas tivi” kata paman teguh sambil meneguk secangkir teh.
“ dari mana paman? “ tanya Haris girang, sembari bangkit dari duduknya. Tak ada jawab dari pamannya yang sedang asyik memperhatikan berita ditelevisi.
“ Alhamdulillah.... ini panggilan kerja paman, Hardi diterima kerja” Hardi langsung memeluk pamannya ketika melihat isi surat itu. Ada titik bening yang jatuh dari sudut matanya. Pamannya hanya menepuk bahu Hardi tak mampu berkata apa-apa seolah lehernya tercekik melihat tingkah hardi ”Ibu... tunggu Hardi, Hardi pasti pulang” bisiknya dengan suara sesak. Kemudian terdiam memandangi selembar kertas di tangannya.
“ Sudah Har, sekaranng makan dulu, ini bulek buat sambal terong kesukaanmu” kata bulek yang baru selesai menyiapkan makanan mencoba memecah kebekuan.
“Asyik.... kak Har diterima kerja, syukuran dong.. besok minggu ajak Ratna jalan-jalan ya?” suara riang itu terdengar dari putri sulung paman Teguh yang baru duduk dikelas lima SD.
“ Iya kak.. sigit ikut juga, kita ke taman mini” sahut adik gendis sambil memutar-mutar roda mobil mainannya.
“ E.... kak Har kan baru diterima, belum dapat duit” kata paman Teguh sambil menghampiri makan malam yang dihidangkan istrinya.
Tidak hanya untuk ruang tamu dan nonton televisi saja, tapi di ruang itu juga mereka biasa makan malam bersama, ada kehangatan yang tak terlukiskan ketika semua berkumpul, seperti untaian bola kristal dalam seutas tali yang erat, biaskan cahaya yang mampu terangi tiap sudut kehidupan yang kadang penuh keluh, taburkan aroma penghapus lara karena bara dunia yang selalu memanggah hati hingga membuatnnya penuh dengan karat kedengkian yang sulit tuk dihapus.
****
Semua penghuni alam masih terlelap dalam singgasananya, malam bertabur cahaya bulan yang menghangatkan bumi, memasung semua keletihan tiap raga, ramah menyapa jiwa-jiwa yang tak pernah puas akan nikmatnya dunia dalam balutan kelam yang begitu melelapkan.
Hardi terjaga dari tidurnya, dinding kamarnya seolah tersenyum melihatnya membuka mata, ia masih terdiam pandangannya kosong, entah apa yang ia pikirkan mungkin ia mencoba mengumpulkan energi tuk bisa bangkit, melawan kantuk yang terus menggelayut.
Seolah tampak dihadapannya ibu yanng slalu membangunkannya setiap sepertiga malam, tiga adiknya yang tak pernah hentikan senyumnya kala memandang mereka,dan ayahnya yang sekarang masih sakit ”andai ayah sesehat dulu, mungkin aku tidak disini sekarang” bisik hardi pelan.
Masih teringat jelas, ketika suatu petang ia harus menghadapi omelan ayahnya. Karena ia melalaikan tugasnya, mencarikan rumput untuk enam kambingnya yang sudah lama di pelihara ayahnya, kala itu ia asyik menyoraki teman-temannyan dalam pertandingan kesebebelasan antar kampung.
“hey... kenapa kau tak ikut main Har” suara khas yang sudah Hardi kenal mengagetkannya. Hardi menoleh, dipandanginya lelaki yang baru datang dan ikut meramaikan tepian lapangan, senyumnya yang khas, wajah ramah yang menyejukan dan kopyah putih yang selalu bertengger di kepalanya.
“nggak Kang, sudah tiga bulan lebih aku nggak ikut latihan, bentar lagi ujian, ada les di sekolah, nyiapin pensi juga buat acara perpisahan, pulang sekolah harus ngrumput” jawab Hardi panjang lebar, dan membalas senyum laki-laki di hadapannya yang biasa di sapa kang Oza
“ oh.. pantes cuma jadi suporter?lha terus siapa pengganti gelandang Hebat yang dulu jadi kebanggaan kampung kita?” tanya kang Oza sambil mengelus dagunya yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut.
“itu si Hofar, dia jauh lebih hebat kang, dari tadi gawang lawan digempur habis-habisan. Ouey.. Aksi spektakuler”jawab Hardi sambil menyaksikan si kulit bundar yang di perebutkan 22 orang.
“ayo Hofar, keluarkan jurus jitumu..” teriakan Hardi lenyap dalam riuh penonton, kang Oza pun ikut larut bersamanya. Dinginnya udara Gunung Dieng seolah tak terasa. Pohon cemara pun ikut bersorak, gemerisik daunya laiknya simfoni musik alam yang mengiringi para penggiring bola, semua mata terpana pada kaki-kaki lincah yang tak henti melangkah. Bahkan tak sedikit yang membiarkan mulutnya menganga,entah sengaja atau memang tidak sadar, untunglah.. nyamuk kurang suka hidup di daerah dingin, jadi tak ada nyamuk yang hinggap di mulut-mulut itu. Sore itu, Hofar seolah menjadi aktor utama setelah ia mendaratkan bola di gawang lawan saat pertandingan baru berjalan 20 menit di babak awal, geliatnya mampu mengecoh musuh, dan headen menjadi jurus andalannya. seperti Cristiano Ronaldo ketika membela Portugal di laga piala dunia tahun 2006.
Di babak kedua inipun tak beda bak belut ia terus lolos, menerobos pertahanan lini belakang musuh memasuki garis finalty dan pouak.. bola yang sedari tadi ia pertahankan dikakinya pun dilepas, dalam waktu sekian detik si bundar putih itu menghampiri kiper yang terus bertahta didepan gawang. Selicin belut pula, bola itu lolos dari tangan kiper. Dan.. GOL...
Sorak soria penonton pecah, gol kedua untuk tim PUTRA GELORA, sontak Hofar meloncat girang, pertandingan dilanjutkan hinggga sang wasit meniup peluit tanda time off. Semua penonton berhambur, para pendukung PUTRA GELORA pulang dengan dengan wajah riang.
“ Liat kan kang aksi Hofar? Ough... dia memang hebat” kata Hardi saat berjalan pulang bersama kang Oza
“ ia Har bener, dia memang.....” Kang Oza belum selesai bicara, terdengar gema Azan dari masjid yang tak jauh dari jalan. “ Alhamdulillah...udah maghrib” Kang Oza mempercepat jalannya, tanpa dikomando Hardi pun mengikuti langkah kang Oza. Beriringan... kedua Insan itu seolah ditarik saat mendengar panggilan shalat yang selalu renyuhkan hati kala mendengarnya.
Azan belum usai Hardi sudah sampai di halaman rumahnya, disambut wajah beku ayahnya
“ Pie iki Har, kok baru balek. Iku lho kambinge, mbak mbek wae.. ora ngrumput koe?” sambil mengerutkan dahinya ayah Hardi yang juga baru pulang tampak murka. Hardi terdiam seolah lidahnya terikat jutaan benang, erat mengait di giginya, sadar akan kelalaiannya.
“ lha mbok yo ngerteni, bapakmu iki kerjaane okeh, ibumu juga repot, adimu Rena opo yo bisa cari rumput”sambung ayahnya. Sambil meletakan bakul yang berisi dagangannya.
“ tadi sudah tak carikan kok Pak, tapi baru sedikit” jawab Hardi pelan
“ mbok yo udah pak, maghrib iku lho.. nanti kambingnya ibu buatkan air garam juga diam. Wong tadi sudah dikasih rumput sedikit” sela ibu Hardi, yang selalu jadi penengah dalam keluarga itu. Hardi pun bergegas, berlalu dari hadapan ayahnya, memenuhi panngggilan Illahi yang sedari tadi lantang di pergantian siang dan malam.
Detak jarum jam yang tak henti mengalihkan pandangannya, buyarkan lamunan hardi, yang sedari tadi asik bercengkerama dengan masa indah “jam setengah tiga” batin hardi menengok jam dinding di mejanya. Kemudian bangkit, menghampiri kamar mandi, tanpa enggan ia hamburkan air wudhu.
Di atas sajadah ia mengadu segala pilu, sebaris doa pada Sang Kuasa terucap untuk ia dan keluarga. Disanalah ia gantungkan harapan, meminta dan berharap sesuatu yang pasti akan ia dapatkan, entah sekarang, esok, atau bahkan kelak di akhirat.ia yakin benar Allah tak akan melantarkannya. Orang-orang kafir, manusia terkutuk yang tak pernah akui ke EsaanNya pun masih di ijinkan hidup di bumiNya, masih diberi kenikmatan, masih diijinkan meminjam segala fasilitas dunia yang kadang menyilaukan mata. Ya Rabbi... Ya Rahman Ya Rahimmm.. Engkaulah Maha Penyayang diantara para penyayang....
****
Kota kembali bergeliat ketika tak ada lagi bintang yang menghiasi angkasa, tak ada lagi dewi malam yang anggun menaburkan sinarnya pada Dunia, saat bola emas di ufuk timur terus beranjak dan gumpalan awan berarak, bersorak, seolah berteriak mengajak penduduk bumi tuk bangkit mensyukuri nikmat Illahi yanng tiada henti sepanjang hari.
Hardi dengann kemeja coklatnya seolah mendengar teriakan awan, rapi... ya... ini hari pertamanya masuk kerja, sejuta syukur dan senyum simpul awali hari indah itu. Sekali lagi ia menyisir rambutnnya yang sudah rapi, membetulkan kerah bajunya yang sudah betul dan menyerokan tubuhnya di depan cermin.
“tok,tok,tok...” terdengar pintu kamarnya di ketuk “ Hardi ada telphon ini dari keluarga di kampung” suara pamannya terdengar jelas dari balik pintu
“ia paman, siapa” tanya Hardi penasaran
“budhe Gina” kata paman Hardi sambil menyodorkan telephon genggam butut, ya... meskipun jelek tapi benda itu sangat bermanfaat, lewat dialah paman Teguh tau kabar keluarganya di desa.
“assalaamu’alaikum.. ada apa budhe”
“wa’alaikumsalam kamu pulang ya le?? Bapakmu dirawat lagi”terdengar suara budhe Ginah dari handphonenya
“bapak??iya budhe.. hardi segera pulang” jawab Hardi dengan suara parau
“tidak usah buru-buru, hati-hati ya le...” entah.. budhenya bicara apa lagi, Hardi buyar yang ada dalam angannya Hanya ayah, ibu dan adik-adiknya...dan bergegas.. tak pedulikan lagi pangggilan kerja yang sudah tiga bulan dinantinya.
“hati-hati, kalau sudah sampai, kasih kabar keadaan bapak” pinta paman teguh saat Hardi hendak beranngkat. Hardi hanya menganggukan kepala, mulutnya serasa terkunci, satu katapun sulit terucap.
Pulang, dengan kegundahan menghampiri kampung halamannya, dataran tertinggi di Jawa tengah, entahlah.. sudah seperti apa Dieng sekarang... tiga bulan serasa bertahun-tahun Hardi meninggalkannya. Bus ekonomi yang ia tumpanggi terus melaju. Sudah empat jam ia duduk disana.. penat,panas sedikitpun tak dapat memejamkan mata. Padahal biasanya ia tak bisa menahan matanya ketika sopir bus mulai menyalakan mesin.
***
Dieng seolah beku, warna putih ungu di perkebunan kentang kian menggigil dibuatnya, namun bunga-bunga itu tetap ramah menyapa kupu-kupu dan kumbang yang sesekali hinggap sesukannya. Warna hijau subur daunnya pertanda tanaman itu belum genap tiga bulan, beberapa pohon carica1 dipinggiran kebun terus melambai mengikuti arah angin yang tak beraturan. Tak jauh dari kebun itu tampak sebuah rumah yang penuh sesak, beberapa ibu berkrudung dengan jaket tebal yang terus membungkus tubuh mereka kelihatan sibuk di ruang tengah dan dapur, sementa itu di halaman depan tangan-tangan kekar sekumpulan lelaki tak kalah sibuk, mengerjakan apa saja yang bisa mereka kerjakan.
Hardi tak bisa berkata apapun melihat pemandangan aneh itu di rumahnya, tatapannya nanar menelisik wajah-wajah kusut, mencoba bertanya dengan suasana yanng tak biasa. Langkahnnya terhenti ketika wanita setengah baya dengan mata lebam memeluknya, mencoba menahan tangis, dan berbisik pelan, Entah apa yang dikatakannya Hardi seolah tak mendengar ucapannya, ia terus mengayunkan kaki masuk dengan langkah lemah. Tubuhnya serasa remuk ketika melihat sesosok tubuh yang terbujur kaku berselimutkan kain putih, tulang belulangnya seolah terlepas, seperti ada jangkar besar yang menancap didadanya menusuk ulu hatinya. Pelan... ia membuka kain putih yang menutup tubuh itu.
“Ibu..........” tak ada yang terucap dari bibirnya, tubuhnya kian lemah, kedua tangannya bergetar kemudian menakupkan di wajah, menyeka butiran bening diujung mata. Terdengar suara Rena tersendu menghampiri, dan berhambur dalam pelukannya, keduanya terdiam. Air mata keduannya menganak sungai. Tak ada lagi yang bisa menggambarkan kepiluan Hardi, Sekarang hanya dia sandaran ketiga adiknya, bisakah? mengajak mereka terus melangkah meniti hari, melewati liku hidup. Terus melangkah. Melangkah untuk hari esok yang entah seperti apa.. bukan... bukan untuk esok tapi untuk hari ini,, kakinya seakan terpaku erat dengan bumi, untuk bisa berdiripun berat, berat sekali.....
“ Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Maha penyayang diantara para penyayang”2 Hardi mencoba menghadirkan setitik sinar dalam hatinya. Terus berbisik dalam hati. Pandangannya kabur terhalang butiran air mata yang terus membumbung, samar-samar ia pandangi wajah ayanya yang mematung duduk di kursi ditemani beberapa lelaki yang sebaya dengannya. Mungin wak Kardi atau pakdhe Tarjo, tidak tampak jelas..
“Ibu... engkau bukan tempatku bersandar tapi kaulah yang menjadikan aku berdiri tegak” sekali lagi hardi mencoba menembus pekat dalam dadanya. Lemah, cahaya itu amat lemah. Tapi ia tak jemu. Ia terus mencoba dan mencoba.
****

By : molip al hapilum

carica1 : tanaman sejenis pepaya berasal dari Amerika selatan, hanya tumbuh di daerah dingin yang ketinggiannya sekitar 700 dpl, di Jawa tamanman ini hanya ada di dataran tinggi Dieng.
2 : QS. Yusuf ayat 64

Selasa, 02 November 2010

cerpen

YOU ARE WELCOME
Bulan kian pucat, warna keemasan diufuk timur mulai memudar, dan mentaripun kian silau, tampak sisa hujan semalam belum jua kering. Dedaunan masih basah karena tangisan lazuardi yang hampir semalam tak henti, ketika fajar menyingsing kabut pun ikut berduyun berarak tinggalkan keramaina kota yang penuh dengan kebisingan, yang tinggal hanya gumpalan awan putih hiasi birunya langit. Pagi yang indah.. Tampak ada kesibukan di rumah sederhana yang rapi dan elok. Rerumputan di halaman rumahpun seolah ikut merasakan kesibukan di sekitarnya.
“jiha... kesini sebentar sayang...” teriak wanita separuh baya yang sedari pagi sibuk dengan kardus snack.
“Iya mi..” sahut gadis berjilbab kaos dari kamarnya. Selesai melipat baju yang baru di ambilnya dari almari memasukan kekoper kemudian menghampiri suara lembut yang belum lama memanggilnya, “ada apa mi?” bisiknya lembut saat sampai di depan ibunya
” Antarkan ini kerumah budhe harun..” pinta sang ibu sambil menyodorka dua kardus snack,
“umi... jiha kan belum selesai merapikan baju” sahut gadis lesung pipi itu dengan nada manja.
“sebentar saja, lagian dekat kan? Lihat, umi belum selesai membungkus snack-snack ini nanti keburu pemesannya datang”
“kenapa nggak kakak aja yang nganterin?”
“masih sibuk di depan sama abi, kalau umi panggil juga pasti tidak dengar, sudah sana... sekalian pamitan kamu kan bakal lama tidak pulang...”
Jiha pun berlalu, meninggalkan ibunya yang belum selesai bicara. Ada rasa enggan ketika ia harus menjumpai penghuni rumah tetangganya itu, terutama haris.. ya... dia, pemuda yang pernah buat ia kesal. “ marah tidak boleh lebih dari tiga hari ” gumamnya ketika ingat nasehat murobinya1 di kampus. Namun kekesalan itu terus ada dalam hatinya.. Haris, yang dulu sahabat baiknya kini begitu ia benci, sahabat kecilnya yang selalu membuatnya tertawa dan selalu membelanya ketika ada anak-anak bandel yang mengganggunya, ah.. itu dulu sekarang ia bukan lagi sahabat kecilnya.
“ Assalamua’alaikum..“ sapa jiha ketika ia sampai di depan rumah yang dituju..
“ Wa’alaikum salam.. e.. jiha.. masuk sayang “ sapa lembut sang pemilik rumah.
“ini budhe dari umi..” dengan senyum simpul ia serakan bungkusan di tangannya, sejenak ia terdiam ketika melihat sosok yang di bencinya. Ia melayangkan senyum, tapi entah.. hatinya merasa, ada yang aneh dalam senyum Haris..
****
Semua hentikan tawanya ketika jiha sampai di depan pintu, keadaanya masih seperti semula, sebulan yang lalu ketika ia tinggalkan untuk liburan bersama keluarganya, tapi biasanya tidak sesepi ini? Dimana teman-temannya yang selalu ramai dan suka bertinggkah? Jiha terus melangkah dengan penuh tanya, beberapa kali mengucapkan salam tapi tak ada jawab.. dengan pelan ia membuka pintu.. benar-benar sepi...
“hmmmm... mungkin masih diluar..” batinnya dan merebahkan diri di kursi..
“ jiha.... “
Jiha terkejut ketika semua teman-temannya berhambur menghampirinya saat ia sedang asyik mengotak aatik hand phonnya.
“ah.. kalian.. kenapa mengagetkan..” Kemudian dengan ramah ia menyapa semua sahabatnya “Assalamu’alaikum.. “ sambil memeluk keenam sahabatnya satu persatu..
“ Wa’alaikum salam..” jawab keenam sahabatnya hampir bersamaan “senangnya kamu datang” ucap sahabatnya Riska... teman sekamarnya yang paling jahil..
“ kaifa khaluk2 Gimana sayang udah baikan.. “ tanya gadis berjilbab merah hati
“ Alhamdulillah kabar baik,udah mendingan mba’’ sambil senyum ia jawab pertanyaan mba’Ratna, ya.. dialah salah satu kakak tinggkat yang paling perhatian, bukan hanya denganya tapi dengan semua penghuni kost ini. Saat jiha jatuh sakit sebulan lalu dialah yang ribut kesana kemari minta bantuan, mencari taksi dan menghubungi keluarga jiha.
Kini suasana yang hening kembali riuh, Mela, Hana, dan Tika yang sedari tadi diam pun ikut ramai, tanya ini itu tentang keadaan jiha dan cerita panjang lebar, kesana kemari, tentang keadaan kost saat jiha tidak ada, keadaan kampus, dan keadaan Jakarta dengan segala gemerlap dan kekejamannnya. Sesekali jiha menyunggingkan bibirnya saat mendengar celoteh sahabat-sahabatnya. Kemudian satu persatu semua berlalu, membiarkan jiha istirahat di kamarnya.
“ Syukron3 ya Ris, dah jagain kamarku, wah.. apa jadinya kamar ini kalau ngga ada kamu.?”kata jiha pada riska, ketika mereka hanya tinggal berdua.
“ you are welcome ukh...” jawabnya singkat, dengan bahasa barat, dialah yang paling sering bercas,cis,cus menggunakan bahasa itu. Meski kadang belepotan, teman-temannya tidak pernah mempedulikan itu.
***
Jiha kembali menjalani hari-hari kuliahnya seperti biasa, typhus yang dideritanya tak lagi mengganggu aktivitasnya. Tidak terasa sudah enam bulan ia di metropolitan, rasa rindu dengan keluarga dan teman-temannya di kota asal bisa ia tahan. Ada rasa yang tidak biasa dalam hatinya entah karena apa, namun ia mengabaikan itu, dan terus menyibukan diri larut dalam hiruk pikuk kota.
“ Ris.. antar aku ambil uang yu’..”pinta Jiha pada Riska yang sedang asyik dengan majalahnya.
“ sekarang..??”tanya Riska tanpa menoleh pada Jiha
“ ia.. sekarang, mau buat laporan observasi yang kemarin, butuh banyak dana,hehe… ”
“ oke.. sekarang, tapi kamu yang bawa motor ya..” pinta Riska dengan senyum yang dibuat-buat. Jiha membalas dengan senyum yang sama dan mengerutkan keningnya. Merekapun berlalu, menyusuri jalanan kota yang penuh sesak.
Sementara itu dikota yang sama seseorang sedang berjuang untuk hidupnya, Suasana tegang tampak disudut-sudut Rumah sakit yang tak pernah senyap. Angin yang bertiup dengan tenang tak hilangkan kegundahan di depan ruang ICU.
“ bagaimana bi, sudah dihubungi “ tanya itu memecahkan kebekuan disana, saat leleki dengan kemeja biru menghampiri wanita yang sedang duduk dengan raut bingung,
“sudah mi tapi tidak diangkat” jawab lelaki itu sambil memegangi kepalanya, Rambutnya sudah mulai memutih. Garis wajahnya melukiskan ia seorang pekerja keras, dan kewibawaanya membuat orang baru mengenalnya segan.
“ sudah mbak.. tidak apa-apa, nanti kita coba hubungi lagi “ pinta wanita yang masih duduk, mencoba menenang keduanya.
“ tapi dari kemarin Haris selalu memanggil manggil namanya”
Tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Suasana disana kembali seperti semula, tak ada lagi cakap, yang ada hanya suara petugas rumah sakit yang hilir mudik kian kemari.
***
“ Udah selesai?” tanya Riska pada Jiha yang baru keluar dari mesin ATM.
“ udah, yo” jawab Jiha sambil membuka tasnya, ia menganbil handphonnya, empat panggilan tak terjawab. “Abi memanggil Rin, ada apa ya..” tanyanya penuh selidik.
“ Wa’alaikum salam... Ada pa abi, Jiha tidak tahu kalau abi telfon Jiha.. abi baik-baik saja kan, umi gimana baik juga kan??” tanya jiha panjang lebar ketika telfonya tersambung dan mendengar suara ayahnya dari telephon genggamnya.
“ia sayang kami semua baik, kamu masih sibuk” suara itu terdengar tenang, Jiha pun menghela nafas lega.
“ tidak bi, ini baru jalan sama Riska”
“ kalau tidak sibuk pulang ya.. kami juga sedang di Jakarta, siap-siap nanti kakak yang menjemputmu ke kost “
“ ada apa abi??”
“tidak apa-apa, nanti kakak yang jelaskan, sudah dulu ya... Assalamu’alaikum..” Ayah jiha menutup telfon dengan menyisakan tanya pada Jiha.
“Wa’alaikum salam.. “ jawab jiha dengan nada yang sedikit gemetar
“ ada apa ukh “ tanya Riska yang sedari tadi diam, tak ada jawab dari Jiha, ia kian bingung, mengikuti langkah Jiha yang sudah siap dengan motor maticnya.
Mereka kembali menyusuri jalan raya, derum mobil dan motor tiada henti, sesekali diselingi dengan suara klakson yang bersahut-sahutan, Jiha membawa motornya dengan kencang,
“ hati-hati Jiha..” suara Riska kabur oleh kebisingan, Jiha tak pedulikan suara itu, terus melaju dengan kencang. “ Awas Jiha..” lanjut Riska, Jiha terkejut sesaat kemudian motor yang dibawanya sudah tak dipegang lagi, Jiha terkapar, tak bisa mendengar suara bising kota lagi, tak jauh dari Jiha. Kerumunan menghampiri Riska.. Polusi di Metropolitan seolah jadi saksi kejadian mengerikan siang itu.
***
Perlahan Jiha membuka matanya, samar-samar tampak wajah ibunya, ayanhnya dan kakaknya juga disana.
“ Ris...ka, Ris..ka...” suaranya pelan..
“ Jiha.. Ini umi Sayang.. Abi.. Jiha siuman abi.. Rendra.. panggilkan dokter..” antara girang dan tegang bercampur dalam nada suara ibu Jiha..
Tanpa menyahut, pemuda yang sedari tadi duduk disamping ranjang berlalu dari ruangan itu..
“ Dia sudah membaik, hanya butuh tiga atau empat hari disini, setelah itu bisa dibawa pulang” jelas dokter saat selesai memeriksa Jiha, dan berlalu dari ruangan itu dengan senyum ramah.
Tak lama kemudian, mba’ Ratna dan semua penghuni kostnya datang, mereka mengembangkan senyum, sejenak rasa sakit riska terana punah.keceriaan di kost kini hadir di ruangan tempat Jiha dirawat.“ Terimakasih sahabat-sahabatku “ gumam Jiha
“ Mi.. ris..ka Riska. Di...ma na??” tanya Jiha terbata-bata.
“ dia baik-baik saja sayang.. tidak apa-apa sudah di tangani dokter kamu istirahat lagi ya..” pinta sang ibu sambil mengelus kepalanya, diikuti Rendra yang menganggukan kepala saat Jiha menoleh padanya.
Akhirnya, tiga hari berlalu. Jiha sudah boleh pulang, meski dengan tangan dan kepala yang masih terbalut perban.
“ Mi.. Jiha nunggu Riska ya..” Pinta jiha saat ibunya sedang sibuk merapikan barang-barang bawaannya .
“ jangan sayang.. kamu harus pulang sekarang, nanti kak Rendra yang disini.. biar kamu bisa selalu dengar kabar Riska” Jawab ibunya tanpa menoleh.. ada sejuta tanya dalam hati Jiha, kenapa.. ibunya begitu buru-buru dan tampak tegang..
“ Bagaimana mi.. sudah siap..” tanya ayah Jiha yang baru masuk keruangan itu..
“Sudah bi, Ayo..” kata ibunya sambil mengangkat kopernya..
Jiha keluar dengan dipapah kakaknya, kakinya masih sedikit pincang. Ditemani kakaknya ia menghampiri ruangan Riska, tapi ia tak bisa masuk. Hanya bisa melihat Riska yang masih terbaring lewat kaca pintu.
“ Riska.. cepat sembuh ya.. Maaf.. maafkan aku, kalau bukan karena aku pasti kamu tidak seperti ini..” bisik Jiha lirih
Jiha dan keluarganya meninggalkan rumah sakit yang sudah menampungnya selama ia sakit.
Setelah seharian di mobil akhirnya Jiha dan keluarganya sampai di rumah, hmmm.. Surabaya masih tetap seperti yang dulu, hanya sedikit perubahan. Enam bulan di Jakarta membuatnya begitu merindukan tanah kelahirannnya.
Lagi-lagi Jiha merasa ada yang aneh. Baru istirahat sebentar kemudian Budhe harus datang, dengan pakaian yang amat rapi, Jiha tak hiraukan itu. Ia masih sibuk dengan ponselnya. Menghubungi teman-tamannya di Jakarata.
“ Sudah siap mba’??” tanya budhe Jiha dengan ibunya..
“Sudah.. Ayo berangkat oya.. Jiha.. Budhe mau bicara..”kata ibu jiha sambil merapikan jilbabnya.
Jiha kaget, ponsel yang sedari tadi dipegangnya di taruh diatas meja “ ia Budhe ada apa??” Jawab Jiha sambil merapikan posisi duduknya.
“ Jiha.. ini titipan dari kak Haris..” kata wanita berjilbab hijau itu sambil menyodorkan kepingan CD pada Jiha.
“ ini apa budhe”
“ Budhe tidak tahu itu amanat dari Haris sebelu dia pergi”
“ memangnya kak Haris kemana” tanya jiha polos. Budhe Harun hanya terdiam, kemudian menoleh pada ibu jiha yang sudaqh duduk disampingnya.. tiba-tiba tangisnya pecah dan merangkul ibu Jiha sambil tersendu-sendu. Air matanya tak terbendung lagi, padahal ia sudah berusaha tegar didsepan. Jiha kian bingung.
“ Jiha..” kata ibunya pelan, jiha menyimak dengan tenang. “ Allah sangat menyayangi kak haris, dan DIA.. Dia memanggil kak Haris..”
Serasa remuk semua tulangnya saat mendengar ucapan ibunya, terdiam.. dia hanya bisa diam, kemudian semua terasa gelap. Haris yang dulu begitu peeriang, selalu siap membantunya kapan saja, Haris.. mahasiswa UI yang hampir wisuda kini pergi.. “Kak Haris.. senyum enam bulan lalu.. sebelum aku berangkat, itu senyum terahirmu, kak Haris.. aku belum minta maaf padamu karena aku marah padamu saat kak Haris tak pernah mau menyapaku, tak lagi membuatku tertawa seperti dulu, kenapa kak Haris pergi..?” Jiha terus bertanya pada dirinya sendiri saat ia bisa membuka mata setelah hampir dua jam tak sadarkan diri.
“ Jiha..” pangil budhe Harun yang sedari tadi duduk tak beranjak dari samping Jiha,kemudian dihampiri ibunya yang baru masuk ke kamarnya.
“ Budhe... Kak Haris...” kata Jiha tersendu-sendu.
“ Ia sayang.. Biarkan kak Haris pergi ya.. Doakan saja, semoga ia dapat tempat yang layak disisiNYA, empat hari yang lalu ia dirawat di Jakarta, ia selalu memanggil-manggil kamu, makanya budhe meminta ayahmu untuk menelphonmu supaya kamu bisa datang, tapi.. kecelakaanmu itu menghentikan niat budhe.” Pinta budhe Harun pada Jiha dan memberikan penjelasan panjang lebar dengan tenang, namun dadanya sesak.. ia harus kehilangan anak satu-satunya, anak yang begitu ia banggakan. “ besok kita kemakam, rencananya tadi budhe mau mengajak kamu ke makamnya..” tambah budhe Harun sambil mengelus kepala Jiha
“ ia budhe..” jawah Jiha singkat.
“ya sudah.. sekarang kamu istirahat dulu ya..” kata ibu Jiha sambil membetulkan posisi bantal jiha.
Budhe Harun dan Ibu Jiha beranjak, meninggalkan Jiha sendiri sesaat ia terdiam, kemudian menoleh kemeja, CD yang diberikan budhe tadi, dengan tertatih ia bangkit dari ranjang.. menyalakan VCD player dan menyimak isi rekaman dalam CD itu.
“Assalamu’alaikum Jiha... mungkin saat kamu melihat rekaman ini saya sudah tenang di jannahNYA, wah.. pede banget ya.. banyak dosa kok minta surga??” Jiha tersendu saat menyimak rekaman itu, ia tak dapat membendung tangisnya. “ oy.. kamu tahu??aku buat rekaman ini dimana??dikamarku.. ini.. nah.. ini meja belajarku, disini aku suka menulis banyak hal. Ada foto kita waktu kecil.. lihat, lucukan.. aku selalu semangat mengerjakan tugas dari dosen, karena ada foto ini,ini foto kita berdua saat kecil dulu, karena aku sudah tidak bisa pergi ke kampus lagi jadi disinlah aku belajar, memanfaatkan internet untuk bisa menimba ilmu, aku buat rekaman ini hari Jumat tepatnya tanggal 18 maret 2009, saat itu kamu datang kerumah kan,,, senang bisa melihat senyummu, meski hanya sedikit, disini Jiha.. dikamar ini aku melakukan banyak hal.. kadang aku benci dengan keadaan ini tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan selalu semangat saat ingat kata kamu LATAHZAN INNALLAHA MA’ANA (AT TTAUBAH:40) benar kan..??aku menulisnya di dinding kamar dan mengingatnya terus, biar aku ngga sedih karena aku yakin Allah bersamaku, terimakasih kamu ajarkan banyak hal padaku, mungkin aku akan tetap menjadi bandel jika kamu tidak mengingatkan aku, mungkin aku tidak akan mengenal agamaku seperti sekarang jika bukan kamu yang mengenalakannya. Terimakasih banyak untuk semua.. dan.. maaf.. jika beberapa bulan terahir ini aku tidak pernah menghubungimu, tidak pernah datang saat kau butuh bantuan, meski kampus kita dekat, karena sudah lama aku tidak injakkan kaki di kampus. Hehehe.. ayo Jiha tersenyumlah... lihat.. kepalaku gundul sekarang, ini karena leukemia, sakit Jiha.. sakit.. sekali... saat sakit aku ingin kau ada disini, menemaniku, menghiburku. Aku rindu dengan wajah riangmu. tapi tidak.. aku tidak mau.. kamu kan cengeng.. pasti kamu ikut menangis kalau melihat aku sakit.. cukup doamu dan semua pesanmu yang menemaniku.. selamat tinggal Jiha.. selamat tinggal.. jangan sedih.. sesungguhnya Allah bersamamu.. itukan arti surat Attaubah ayat 40.. ya.. sekarang aku tahu.. ayo.. tersenyum.. untukku..”
Air mata Jiha menganak sungai saat rekaman itu berahir.. “Kak Haris..” dengan suara serak ia memanggil sahabatnya yang telah tiada.. “selamat jalan kak Haris, selamat jalan, semoga engkau tenang disana, you are welcome, you are welcome.. kau pun telah mengajarkan banyak hal padaku...” kemudian ia terdiam, raganya seolah kaku.
Tiba-tiba ia tersentak saat pintu kamarnya terbuka “Jiha...” jiha menoleh ia tak asing dengan suara itu,
“kak Rendra..” jawab Jiha kemudian tangisnya pecah lagi.. “kak Haris kak, kak Haris sudah pergi..”
“ia Jiha.. kamu yang tabah ya..” hibur Rendra.. “kamu tidak mau tahu kabar Riska??” sambungnya
“ia kak Riska apa kabar.. dia sudah sembuh kan..?”tanya Jiha gugup
“ Alhamdulillah.. Riska sudah siuman, tapi seminggu lagi baru boleh dibawa pulang” jawab Rendra.
Ada sedikit cahaya yang menyelusup ke dalam palung hatinya.. Riska yang koma beberapa hari kini sudah baik.. kemudian Jiha larut bersama malam, lelap karena letihnya. Diluar kabut tebal menyelimuti langit tak ada bintang, apalagi bulan. Mendung... alam seolah ikut merasakan kesedihan dalam hati Jiha.
***
murobinya1 : Pembimbing
kaifa khaluk2 : Bagaimana kabarnya
Syukron3 : Terimakasih

Sabtu, 23 Oktober 2010

aurora katulistiwa

tak ada tepi, tak ada ujung, tak ada sudut... semua lapang dan sempit.. ketika tak ada bekal tuk melangkah.. kertika tak ada senyum yang mengiringi,saat itu semua terasa berat...
seperti terkurung dalam iglo di kutup, seperti tersekap dalam gunung es,, yang tak bisa meleleh hingga ribuan bahkan jutaan tahun... menggigil...
entahlah...mungkin ini kehendak Illahi atau ia hanya mengada-ada... merasa berat padahal ringan, merasa sempit saat lapang, merasa tidak ada padahal ADA...
karena enggan bersyukur?sepertinya begitu.. baru mulia terjaga saat banyak hal bisa ia rasakan, tentang tawa, duka, peluh, senyum,
tentang HIDUP, tentang PERJUANAN....
sadar,, ia bukan capung yang hanya mengepakkan sayapnya saat siang, bukan capung yang terbang kian kemari tak tau apa yang dicari...
sadar,, ia tercipta dengan jutaan cinta dan cita yang penuh warna dan mampu hadirkan tawa pada semua penghuni alam semesta... ia lah aurora katulistiwa
berjanji pada orang2 trcintantanya tuk terus berikan senyum... hingga ia menjadi satu-satunya orang yang tersenyum saat semua orang di sekelilingnya menangis untuknya, saat ia meninggalkan dunia fana dan menghampiri jannahNYA... aurora kan slalu menghiasi langit katulistiwa untuk orang2 trcintanya....