Rabu, 20 April 2011

Feminisme dan Kartini Sejati

21 Apil, dianggap sebagai hari kemerdekaan wanita Indonesia??
sibuk, mulai dari siswa TK, SD, SMP, SMA, bahkan Mahasiswa tak mau diam saat hari ini tiba, banyak hal dilakukan untuk meramaikan hari ini, kebaya, dan Sanggul tak urung ikut meramaikan. heran...??

Hari Kartini...
beda pengetahuan, beda pemahaman, dan beda tanggapan...
hanya ikut-ikut saja, hanya tahu saja, tahu dengan pemahaman yang sempit, dan yang terakhir tahu dan paham dengan applikasi yang benar. respon yang berbeda ini tampak jelas pada mereka yang menggembar gemborkan hari kartini. menjadikannya pahlawan wanita dan purti sejati negri ini.

1. ikut-ikutan saja
bisa di maklumi jika yang ada di kelompok ini adalah anak usia play group, PAUD, TK, atau SD kelas rendah. mereka megikuti tingkah laku orang-orang di sekitarnya yang memperlakukan mereka layaknya boneka. bahkan mereka senang saat di dandani, dipajang, dan di arak kesana kemari... ya, bisa dimaklumi... asal bukan wanita-wanita berusia kepala 2 yang bergaya ala anak TK.

2. Hanya tahu saja
mereka yang merayakan hari ini, tahu siapa itu kartini, bahkan dengan lancar menyanyikan lagu seorang wanita yang Harum namanya. tahu, siapa tokoh yang sedang dibicarakan. iya, tahu... tapi hanya tahu saja. tak paham apa itu esensi hari kartini untuk perempuan masa kini, apa itu urgensi kartini untuk hari-hari putri indonesia.

3. Tahu dengan pemahaman yang sempit
Bahaya... bukan hanya untuk mereka saja tapi juga untuk orang-orang di sekeliling mereka. mereka tampak begitu mengenali sosok kartini dengan segala perjuangannya, kartini dengan semua keunikannya, dan kartini dengan semua ceritanya, larut dalam selebrasi kartini yang kadang sedikit ganjil di perhatikan. semangat habis gelap terbitlah terang seolah tak akan padam lagi. mereka tampak brilian menyampaikan semua opininya tentang kartini..tapi sebenarnya hal yang fatal akan mendedera semua wanita yang percaya dengan semua ucap mereka.
feminisme... wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan pria... tak boleh di kekang, boleh begini dan begitu.... dan yang terjadi.... melunjak... tak hanya lupa dengan kodratnya sebagai wanita bahkan menjadi durhka dengan para imamnya... Na'udzubillah...

4. tahu dan paham dengan aplikasi yang benar..
Orang-orang seperti inilah yang InsyaAllah akan memanfaatkan moment hari kartini menjadi sebuah perubahan yang berarti. mereka tidak hanya mengenang sosok kartini pada jiwa Kartini saja tetapi juga pada wanita-wanita luar biasa yang ada sebelum kartini ada.bukan menguraikan opini-opini tanpa bukti tapi mengungkap fakta-fakta nyata yang ada di tanah air tercinta.....

Faktanya adalah: delapan abad sebelum Kartini lahir, di Kerajaan Aceh Darussalam sudah ada tiga perempuan yang menjadi Sultan (Sultanah) dari 31 Sultan yang ada. Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah tahun 1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).(www.eramuslim.com)

Jika seorang Raden Ajeng Kartini baru bisa berdiskusi, bermimpi ingin ini dan itu, surat menyurat, dan mengajar di kediamannya, maka para perempuan Aceh sudah berjihad di belantara hutan memerangi kaum kafirin bersama-sama para Mujahidin prianya. Mereka adalah Laksamana Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis; Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid; Teungku Fakinah, seorang ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan dalam perang melawan Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran;

Lalu kita kenal ada Cut Meutia, yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda; Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906; Pocut Meurah Intan, yang juga sering disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya—Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin—berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904; Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.

Salah seorang pemimpin gerilya Aceh Darussalam, Pocut Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh “Resimen Pocut Baren” yang merupakan bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan Aceh ini sangat ditakuti Belanda karena terkenal tidak pernah mundur atau pun melarikan diri dalam setiap pertempuran. Mereka bahkan pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah.

Amat mungkin, disebabkan ruang gerak perempuan-perempuan Aceh yang sangat luas, tidak berbeda dengan kaum lelakinya, maka hal ini turut mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. HAMKA menulis, “Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka.”

Mereka ini semua sudah sederajat dengan kaum prianya, di saat Kartini baru bermimpi. Dan satu lagi, adalah SALAH BESAR jika menganggap Kartini mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti dalam paradigma barat. Kartini bahkan menyerang peradaban barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902: "Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?"

Sebagai seorang Muslimah yang ingin mendalami Islam secara kaffah, Kartini juga menyerang upaya Kristenisasi terhadap umat Islam yang dilakukan kafir Belanda. "Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? .... Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?" (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903).

Kartini adalah seorang priyayi Jawa yang ingin memberontak terhadap kultur keraton Jawa yang menganggap perempuan hanya pantas untu di tiga tempat: Dapur, Sumur, dan Kasur. Jiwanya menyala-nyala ingin mendalami Islam dan menjadi salah satu pejuangnya. Kecintaannya kepada Islam membuatnya rela menjadi isteri kedua.

Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan menyerang pengertian emansipasi yang ada seperti sekarang ini. Kartini akan menyerang kontes ratu-ratuan yang mengumbar aurat, Kartini akan menyerang keinginan perempuan untuk menjadi seperti pria yang sebenarnya berangkat dari perasaan rendah diri dan pengakuan jika pria lebih unggul, sebab menurut Kartini, perempuan dan laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing yang unik, sebab itu mereja memerlukan satu dengan yang lainnya, saling melengkapi.

Walau demikian, jika negara ini mau jujur, sesungguhnya predikat pelopor kebangkitan perempuan Indonesia bukanlah RA Kartini, namun para Srikandi Aceh Darussalam. HAMKA sendiri menulis: “Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau Feminisme zaman modern sekarang ini.”

Namun itulah tadi, para penguasa bangsa ini sejak dulu selalu menganggap negara ini seolah-olah hanyalah Pulau Jawa, sehingga ketinggian peradaban di luar Jawa sama sekali tidak dihitung sehingga sejarah resmi negeri kita ini sampai sekarang masih sangat Jawa-Sentris.

Emansipasi dalam Islam itu tidak ada. Karena Islam sama-sama menganggap perempuan dan laki-laki itu sederajat, dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Yang membedakannya hanyalah tingkat ketakwaan terhadap Allah Swt. Itu saja.

Emansipasi yang salah kaprah seperti sekarang memang merupakan racun yang disusupkan ke dalam otak kita semua. Dan kalau mau jujur, sebenarnya Barat sendiri juga tidak melaksanakan emansipasi seperti yang digembar-gemborkannya selama ini. Salah satu contoh mudah, negara Amerika Serikat yang sudah berusia 233 tahun presidennya selalu saja kaum pria. Belum ada perempuan Amerika yang dianggap pantas untuk menjadi presiden. Ini bukti yang tidak terbantahkan.

Dan jika perempuan Indonesia ingin meneladani Kartini, maka jadilah seorang Muslimah sejati. Yang menutup aurat, mencintai Islam, dan berani mengatakan al-haq walau kepada penguasa sekali pun. Wallahu ‘alam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar