Jumat, 05 November 2010

langkah kecil itik

“ Hardi...!!”
Suara wanita itu terdengar jelas walaupun ada diantara deru mobil yang tak henti, dan klakson mobil yang terus bersaut – sautan. Ia tak pedulikan peluh yang tampak jelas di raut wajahnya, tangannya sibuk dengan mangkuk-mangkuk yang penuh berisi mie dan butiran bakso.
“ya bulek, apa lagi?” suara pelan dan tenang mendekatinya, dengan membawa nampan kosong.
“ ini pesanan untuk tiga orang, yang duduk di pojok itu” kata wanita berdaster yang tubuhnya agak gembul sambil menunjuk tiga orang yang sedari tadi duduk di pojok menanti pesanan bakso.
Tanpa menjawab Hardi langsung mengikuti perintah wanita itu, dengan cekatan ia menyajikan pesanan pada pelangganannya,ya... itulah kesibukan pemuda yang akrab dipanggil Hardi, tiga bulan lalu ia datang ke Jakarta, dengan bekal ijasah SMA ia nekat menghampiri ibu kota mencoba mengadu nasib di metropolitan berharap bisa dapatkan kehidupan yang lebih layak. Ternyata ia kurang beruntung, ijasah yang dibawanya tidak cukup menjadi bekal, sudah beberapa kali ia mengajukan lamaran. Di swalayan dan beberapa perusahaan yang ia rasa cocok dengan pendidikannya, namun ia tak juga memperoleh panggilan. Untunglah, ia punya kerabat di jakarta, paman Teguh dan Istrinya mau menampung Hardi sampai ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun Hardi tidak hanya menumpang, karena ia tahu mencari sesuap nasi utuk hidup tidaklah mudah, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan ia membantu Paman Teguh di warungnya.
“ bulek nanti pulang dulu saja ya, saya mau mampir kepasar sebentar” kata Hardi sambil mengelap meja
“ kebetulan Har,nanti sekalian belikan bumbu ya?bumbu di rumah sudah habis” sahut wanita yang masih sibuk mengambil mangkuk-mangkuk kotor. Hardi tidak menyahut ia hanya mengangguk sambil menyunggingkan bibirnya.
Pelan-pelan raja siang kambali keperaduannya, terang berganti pekat. Namun suasana kota tak jua senyap dari kebisingan, truk, sepeda dan mobil mewah lainnya hilir mudik kian kemari, jalan tua seolah bosan dengan semua suasana itu, kalau ia bisa bicara mungkin ia akan berteriak pada semua yang melintasi di atasnya “ hentikan semua ini.. aku letih...” tapi sayang jalan itu hanya benda yang tak bernyawa. Hardi terus menyusuri terotoar sempit, tak ada teman, sesekali ia melepas topinya dan mengipas-ngipaskan kewajahnya.
“ Huffft...” hardi menarik nafas panjang
“benar kata orang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri, aku tidak mau seperti mereka!” batin Hardi, ketika ia melewati para pengemis yang tak bosan menadahkan tangannya di sepanjang terotoar. Sejenak Hardi terdiam, ia tercengang ketika melihat muda mudi yang duduk tenang dipinggir jalan. Tak ada cahaya yang meneranginya. Ini bukan yang pertama ia menyaksikan pemandangan buruk itu, tapi tetap saja ia masih bingung dengan pola hidup masyarakat yang mendeklarasikan dirinya sebagai masyarakat modern. Ini hanya sebagian kecil yang di cafe seberang jalan sana, dan hotel yang menjulang gagah itu?? mungkin masih banyak??
“ heh.. modern..” gumam Hardi sambil mengerutkan dahinya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya, menapaki jalan tak bersahabat itu.
***
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum Salam..” seorang lelaki menjawab salam sambil menghampiri pintu
“oalah le kok sampai malam?” ucapnya, ketika Hardi tampak di depan pintu.
“ iya paman, tadi dari pasar dulu, maaf kemalaman, ini titipannya bulek” jawabnya sambil meletakan bungkusan kantong plastik diatas meja kemudian merebahkan diri di kursi. Di ruangan itu hanya ada sepasang kursi dengan mejanya, televisi kecil dan selembar karpet kusut yang tak begitu lebar. Ruangan itu kian sempit ketika dua anak paman teguh ikut berhambur di ruang kecil itu.
“oya Har, tadi ada titipan surat buat kamu, itu Paman taruh diatas tivi” kata paman teguh sambil meneguk secangkir teh.
“ dari mana paman? “ tanya Haris girang, sembari bangkit dari duduknya. Tak ada jawab dari pamannya yang sedang asyik memperhatikan berita ditelevisi.
“ Alhamdulillah.... ini panggilan kerja paman, Hardi diterima kerja” Hardi langsung memeluk pamannya ketika melihat isi surat itu. Ada titik bening yang jatuh dari sudut matanya. Pamannya hanya menepuk bahu Hardi tak mampu berkata apa-apa seolah lehernya tercekik melihat tingkah hardi ”Ibu... tunggu Hardi, Hardi pasti pulang” bisiknya dengan suara sesak. Kemudian terdiam memandangi selembar kertas di tangannya.
“ Sudah Har, sekaranng makan dulu, ini bulek buat sambal terong kesukaanmu” kata bulek yang baru selesai menyiapkan makanan mencoba memecah kebekuan.
“Asyik.... kak Har diterima kerja, syukuran dong.. besok minggu ajak Ratna jalan-jalan ya?” suara riang itu terdengar dari putri sulung paman Teguh yang baru duduk dikelas lima SD.
“ Iya kak.. sigit ikut juga, kita ke taman mini” sahut adik gendis sambil memutar-mutar roda mobil mainannya.
“ E.... kak Har kan baru diterima, belum dapat duit” kata paman Teguh sambil menghampiri makan malam yang dihidangkan istrinya.
Tidak hanya untuk ruang tamu dan nonton televisi saja, tapi di ruang itu juga mereka biasa makan malam bersama, ada kehangatan yang tak terlukiskan ketika semua berkumpul, seperti untaian bola kristal dalam seutas tali yang erat, biaskan cahaya yang mampu terangi tiap sudut kehidupan yang kadang penuh keluh, taburkan aroma penghapus lara karena bara dunia yang selalu memanggah hati hingga membuatnnya penuh dengan karat kedengkian yang sulit tuk dihapus.
****
Semua penghuni alam masih terlelap dalam singgasananya, malam bertabur cahaya bulan yang menghangatkan bumi, memasung semua keletihan tiap raga, ramah menyapa jiwa-jiwa yang tak pernah puas akan nikmatnya dunia dalam balutan kelam yang begitu melelapkan.
Hardi terjaga dari tidurnya, dinding kamarnya seolah tersenyum melihatnya membuka mata, ia masih terdiam pandangannya kosong, entah apa yang ia pikirkan mungkin ia mencoba mengumpulkan energi tuk bisa bangkit, melawan kantuk yang terus menggelayut.
Seolah tampak dihadapannya ibu yanng slalu membangunkannya setiap sepertiga malam, tiga adiknya yang tak pernah hentikan senyumnya kala memandang mereka,dan ayahnya yang sekarang masih sakit ”andai ayah sesehat dulu, mungkin aku tidak disini sekarang” bisik hardi pelan.
Masih teringat jelas, ketika suatu petang ia harus menghadapi omelan ayahnya. Karena ia melalaikan tugasnya, mencarikan rumput untuk enam kambingnya yang sudah lama di pelihara ayahnya, kala itu ia asyik menyoraki teman-temannyan dalam pertandingan kesebebelasan antar kampung.
“hey... kenapa kau tak ikut main Har” suara khas yang sudah Hardi kenal mengagetkannya. Hardi menoleh, dipandanginya lelaki yang baru datang dan ikut meramaikan tepian lapangan, senyumnya yang khas, wajah ramah yang menyejukan dan kopyah putih yang selalu bertengger di kepalanya.
“nggak Kang, sudah tiga bulan lebih aku nggak ikut latihan, bentar lagi ujian, ada les di sekolah, nyiapin pensi juga buat acara perpisahan, pulang sekolah harus ngrumput” jawab Hardi panjang lebar, dan membalas senyum laki-laki di hadapannya yang biasa di sapa kang Oza
“ oh.. pantes cuma jadi suporter?lha terus siapa pengganti gelandang Hebat yang dulu jadi kebanggaan kampung kita?” tanya kang Oza sambil mengelus dagunya yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut.
“itu si Hofar, dia jauh lebih hebat kang, dari tadi gawang lawan digempur habis-habisan. Ouey.. Aksi spektakuler”jawab Hardi sambil menyaksikan si kulit bundar yang di perebutkan 22 orang.
“ayo Hofar, keluarkan jurus jitumu..” teriakan Hardi lenyap dalam riuh penonton, kang Oza pun ikut larut bersamanya. Dinginnya udara Gunung Dieng seolah tak terasa. Pohon cemara pun ikut bersorak, gemerisik daunya laiknya simfoni musik alam yang mengiringi para penggiring bola, semua mata terpana pada kaki-kaki lincah yang tak henti melangkah. Bahkan tak sedikit yang membiarkan mulutnya menganga,entah sengaja atau memang tidak sadar, untunglah.. nyamuk kurang suka hidup di daerah dingin, jadi tak ada nyamuk yang hinggap di mulut-mulut itu. Sore itu, Hofar seolah menjadi aktor utama setelah ia mendaratkan bola di gawang lawan saat pertandingan baru berjalan 20 menit di babak awal, geliatnya mampu mengecoh musuh, dan headen menjadi jurus andalannya. seperti Cristiano Ronaldo ketika membela Portugal di laga piala dunia tahun 2006.
Di babak kedua inipun tak beda bak belut ia terus lolos, menerobos pertahanan lini belakang musuh memasuki garis finalty dan pouak.. bola yang sedari tadi ia pertahankan dikakinya pun dilepas, dalam waktu sekian detik si bundar putih itu menghampiri kiper yang terus bertahta didepan gawang. Selicin belut pula, bola itu lolos dari tangan kiper. Dan.. GOL...
Sorak soria penonton pecah, gol kedua untuk tim PUTRA GELORA, sontak Hofar meloncat girang, pertandingan dilanjutkan hinggga sang wasit meniup peluit tanda time off. Semua penonton berhambur, para pendukung PUTRA GELORA pulang dengan dengan wajah riang.
“ Liat kan kang aksi Hofar? Ough... dia memang hebat” kata Hardi saat berjalan pulang bersama kang Oza
“ ia Har bener, dia memang.....” Kang Oza belum selesai bicara, terdengar gema Azan dari masjid yang tak jauh dari jalan. “ Alhamdulillah...udah maghrib” Kang Oza mempercepat jalannya, tanpa dikomando Hardi pun mengikuti langkah kang Oza. Beriringan... kedua Insan itu seolah ditarik saat mendengar panggilan shalat yang selalu renyuhkan hati kala mendengarnya.
Azan belum usai Hardi sudah sampai di halaman rumahnya, disambut wajah beku ayahnya
“ Pie iki Har, kok baru balek. Iku lho kambinge, mbak mbek wae.. ora ngrumput koe?” sambil mengerutkan dahinya ayah Hardi yang juga baru pulang tampak murka. Hardi terdiam seolah lidahnya terikat jutaan benang, erat mengait di giginya, sadar akan kelalaiannya.
“ lha mbok yo ngerteni, bapakmu iki kerjaane okeh, ibumu juga repot, adimu Rena opo yo bisa cari rumput”sambung ayahnya. Sambil meletakan bakul yang berisi dagangannya.
“ tadi sudah tak carikan kok Pak, tapi baru sedikit” jawab Hardi pelan
“ mbok yo udah pak, maghrib iku lho.. nanti kambingnya ibu buatkan air garam juga diam. Wong tadi sudah dikasih rumput sedikit” sela ibu Hardi, yang selalu jadi penengah dalam keluarga itu. Hardi pun bergegas, berlalu dari hadapan ayahnya, memenuhi panngggilan Illahi yang sedari tadi lantang di pergantian siang dan malam.
Detak jarum jam yang tak henti mengalihkan pandangannya, buyarkan lamunan hardi, yang sedari tadi asik bercengkerama dengan masa indah “jam setengah tiga” batin hardi menengok jam dinding di mejanya. Kemudian bangkit, menghampiri kamar mandi, tanpa enggan ia hamburkan air wudhu.
Di atas sajadah ia mengadu segala pilu, sebaris doa pada Sang Kuasa terucap untuk ia dan keluarga. Disanalah ia gantungkan harapan, meminta dan berharap sesuatu yang pasti akan ia dapatkan, entah sekarang, esok, atau bahkan kelak di akhirat.ia yakin benar Allah tak akan melantarkannya. Orang-orang kafir, manusia terkutuk yang tak pernah akui ke EsaanNya pun masih di ijinkan hidup di bumiNya, masih diberi kenikmatan, masih diijinkan meminjam segala fasilitas dunia yang kadang menyilaukan mata. Ya Rabbi... Ya Rahman Ya Rahimmm.. Engkaulah Maha Penyayang diantara para penyayang....
****
Kota kembali bergeliat ketika tak ada lagi bintang yang menghiasi angkasa, tak ada lagi dewi malam yang anggun menaburkan sinarnya pada Dunia, saat bola emas di ufuk timur terus beranjak dan gumpalan awan berarak, bersorak, seolah berteriak mengajak penduduk bumi tuk bangkit mensyukuri nikmat Illahi yanng tiada henti sepanjang hari.
Hardi dengann kemeja coklatnya seolah mendengar teriakan awan, rapi... ya... ini hari pertamanya masuk kerja, sejuta syukur dan senyum simpul awali hari indah itu. Sekali lagi ia menyisir rambutnnya yang sudah rapi, membetulkan kerah bajunya yang sudah betul dan menyerokan tubuhnya di depan cermin.
“tok,tok,tok...” terdengar pintu kamarnya di ketuk “ Hardi ada telphon ini dari keluarga di kampung” suara pamannya terdengar jelas dari balik pintu
“ia paman, siapa” tanya Hardi penasaran
“budhe Gina” kata paman Hardi sambil menyodorkan telephon genggam butut, ya... meskipun jelek tapi benda itu sangat bermanfaat, lewat dialah paman Teguh tau kabar keluarganya di desa.
“assalaamu’alaikum.. ada apa budhe”
“wa’alaikumsalam kamu pulang ya le?? Bapakmu dirawat lagi”terdengar suara budhe Ginah dari handphonenya
“bapak??iya budhe.. hardi segera pulang” jawab Hardi dengan suara parau
“tidak usah buru-buru, hati-hati ya le...” entah.. budhenya bicara apa lagi, Hardi buyar yang ada dalam angannya Hanya ayah, ibu dan adik-adiknya...dan bergegas.. tak pedulikan lagi pangggilan kerja yang sudah tiga bulan dinantinya.
“hati-hati, kalau sudah sampai, kasih kabar keadaan bapak” pinta paman teguh saat Hardi hendak beranngkat. Hardi hanya menganggukan kepala, mulutnya serasa terkunci, satu katapun sulit terucap.
Pulang, dengan kegundahan menghampiri kampung halamannya, dataran tertinggi di Jawa tengah, entahlah.. sudah seperti apa Dieng sekarang... tiga bulan serasa bertahun-tahun Hardi meninggalkannya. Bus ekonomi yang ia tumpanggi terus melaju. Sudah empat jam ia duduk disana.. penat,panas sedikitpun tak dapat memejamkan mata. Padahal biasanya ia tak bisa menahan matanya ketika sopir bus mulai menyalakan mesin.
***
Dieng seolah beku, warna putih ungu di perkebunan kentang kian menggigil dibuatnya, namun bunga-bunga itu tetap ramah menyapa kupu-kupu dan kumbang yang sesekali hinggap sesukannya. Warna hijau subur daunnya pertanda tanaman itu belum genap tiga bulan, beberapa pohon carica1 dipinggiran kebun terus melambai mengikuti arah angin yang tak beraturan. Tak jauh dari kebun itu tampak sebuah rumah yang penuh sesak, beberapa ibu berkrudung dengan jaket tebal yang terus membungkus tubuh mereka kelihatan sibuk di ruang tengah dan dapur, sementa itu di halaman depan tangan-tangan kekar sekumpulan lelaki tak kalah sibuk, mengerjakan apa saja yang bisa mereka kerjakan.
Hardi tak bisa berkata apapun melihat pemandangan aneh itu di rumahnya, tatapannya nanar menelisik wajah-wajah kusut, mencoba bertanya dengan suasana yanng tak biasa. Langkahnnya terhenti ketika wanita setengah baya dengan mata lebam memeluknya, mencoba menahan tangis, dan berbisik pelan, Entah apa yang dikatakannya Hardi seolah tak mendengar ucapannya, ia terus mengayunkan kaki masuk dengan langkah lemah. Tubuhnya serasa remuk ketika melihat sesosok tubuh yang terbujur kaku berselimutkan kain putih, tulang belulangnya seolah terlepas, seperti ada jangkar besar yang menancap didadanya menusuk ulu hatinya. Pelan... ia membuka kain putih yang menutup tubuh itu.
“Ibu..........” tak ada yang terucap dari bibirnya, tubuhnya kian lemah, kedua tangannya bergetar kemudian menakupkan di wajah, menyeka butiran bening diujung mata. Terdengar suara Rena tersendu menghampiri, dan berhambur dalam pelukannya, keduanya terdiam. Air mata keduannya menganak sungai. Tak ada lagi yang bisa menggambarkan kepiluan Hardi, Sekarang hanya dia sandaran ketiga adiknya, bisakah? mengajak mereka terus melangkah meniti hari, melewati liku hidup. Terus melangkah. Melangkah untuk hari esok yang entah seperti apa.. bukan... bukan untuk esok tapi untuk hari ini,, kakinya seakan terpaku erat dengan bumi, untuk bisa berdiripun berat, berat sekali.....
“ Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Maha penyayang diantara para penyayang”2 Hardi mencoba menghadirkan setitik sinar dalam hatinya. Terus berbisik dalam hati. Pandangannya kabur terhalang butiran air mata yang terus membumbung, samar-samar ia pandangi wajah ayanya yang mematung duduk di kursi ditemani beberapa lelaki yang sebaya dengannya. Mungin wak Kardi atau pakdhe Tarjo, tidak tampak jelas..
“Ibu... engkau bukan tempatku bersandar tapi kaulah yang menjadikan aku berdiri tegak” sekali lagi hardi mencoba menembus pekat dalam dadanya. Lemah, cahaya itu amat lemah. Tapi ia tak jemu. Ia terus mencoba dan mencoba.
****

By : molip al hapilum

carica1 : tanaman sejenis pepaya berasal dari Amerika selatan, hanya tumbuh di daerah dingin yang ketinggiannya sekitar 700 dpl, di Jawa tamanman ini hanya ada di dataran tinggi Dieng.
2 : QS. Yusuf ayat 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar