bukan khayalan tapi sebuah keinginan.... keindahan warna yang hanya berkutat di kutub hadir di katulistiwa... dengan jutaan warna yang jauh lebih indah.... mewarnai tiap bait hidupnya, sebagai rasa syukur atas karunia Allah 'Azza wa Jalla... dan...mencoba menghadirkan senyum untuk orang2 trcintanya... Aurora melangkah di katulistiwa dg cinta dan cita... mencari secarik kebenaran yg tak dimilikinya....
Selasa, 23 Oktober 2012
RUU kesetaraan gender bahan “spirit dekonstruksi”
21 April sudah lewat, berlalu dilewati hari dan berganti bulan. Namun hari yang lekat dengan segala kesibukan yang beraroma kartini itu masih berdengung. Mencuatkan tingkah dari kaum hawa dengan warna yang berbeda-beda. Dari sekedar mengenang kartini yang memperjuangkan kaumnya untuk bisa belajar sampai memunculkan gagasan baru yang mereka anggap meneruskan perjuangan kartini.
Mengesahkan RUU “kesetaraan gender”, adalah salah satu gagasan yang terus di upayakan para perancangnya, yang dianggap sebagai penerus perjuangan kartini untuk memperjuangkan hak perempuan. Bila disimak lebih detail ada perbedaan yang cukup jauh antara perjuangan kartini dengan RUU “kesetaraan gender”.
Kartini memperjuangkan pendidikan yang setara antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki, alasannya jelas. Dilihat dari sudut manapun pendidikan itu penting, terutama sebagai seorang ibu yang menjadi pamong utama bagi anak-anaknya. Dalam ajaran agama islam tentulah ada alasan dan dasar yang kuat untuk memperjuangkan hak perempuan agar memperoleh pendidikan yang layak. Yakni, menuntut ilmu wajib bagi kaum laki-laki dan perempuan (hadist Muhammad SAW). Wajib hukumnya, fardhu ‘ain, yang tidak melaksanakan atau menghalangi tentulah ada konsekuensi yang harus diterima.
Sedangkan RUU “kesetaraan gender” selain alasan dan tujuan tidak logis juga menimbulkan multi tafsir. Dalam Bab I pasal 1 menyebutkan: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang berbunyi: “…discrimination against women shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.”
Definisi di atas, dalam batasan tertentu, mengesankan muatan spirit dekonstruksi. Sebab dalam ilmu sosial, aturan maupun undang-undang biasanya dibuat untuk menyikapi dan mengantisipasi gejala sosial yang ada atau mungkin akan terjadi. Lalu apakah selama ini di Indonesia secara umum telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah perempuan menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya?
Redaksi pengertian “diskriminasi” dalam RUU di atas bisa diinterpretasikan untuk membuka perlindungan terhadap segala bentuk kebebasan yang dikehendaki perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan agama, keluarga dan ikatan perkawinan.
Konsekuensinya, negara harus melegalkan undang-undang tentang hak melakukan aborsi bagi perempuan yang berusia 18 tahun keatas, pernikahan beda agama dan pernikahan sesama jenis. Termasuk juga hak istri mengadukan suaminya kepada pihak berwajib atas tuduhan pemerkosaan. Dalam wacana gender, isu ini dikenal dengan istilah marital rape, yaitu hubungan seksual yang tidak dikehendaki atau tanpa persetujuan sang istri.
Alangkah lebih baiknya jika para anggota dewan yang terhormat dan komnas perlindungan perempuan menfokuskan kepada pembelaan terhadap masalah-masalah riil yang dihadapi kaum perempuan dan semua pihak saat ini. Misalnya, masalah pemberantasan human trafficking dan memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mall-mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya (nursing room for breastfeeding mothers), memberikan masa cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan minimal selama setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun atau lebih, menyediakan persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, dan lain sebagainya. Agar tujuan lurus untuk memperjuangkan hak-hak perempuan tidak dibelokan dengan kepentingan lain. Sesegera mungkin mematangkan RUU “kesetaraan gender” yang nantinya menjadi paket komplit bagi perempuan Indonesia yang tidak menimbulkan konflik.
Perempuan adalah tiang
Perempuan bukan hanya pintu pembuka, bukan pula atap tempat berteduh, ia bukan alas tempat kaki berpijak, bahkan bukan dinding sarana penutup aib dari pandangan orang. Ia adalah tiang, dan sekali lagi untuk sifat tiang jika ia dirobohkan roboh pulalah seluruh bangunan.
Dengan segenap perbedaan perempuan dan lelaki dicipta berlainan. Mengapa harus menuntut persamaan hak dan kesejajaran jika perbedaan itu bukan sebuah perendahan namun justru pemuliaan kalau kita cerna lebih dalam. Sebagai contoh hak talak, ia hanya dimiliki kaum laki-laki adalah cara paling aman untuk menghindari perceraian, karena bagaimanapun perempuan lebih mudah hanyut dalam perasaan dan mudah terbawa emosi dibanding kaum lelaki yang logika lebih bermain untuk mereka. Ketika perasaan seorang perempuan terkoyak, berpikir logis adalah nomor sekian yang ada dibenaknya hanya menyelamatkan perasaannya, termasuk meminta perceraian atau hal-hal ekstrim lainnya yang tentu saja tidak dipikirkan dengan teori logika yang tepat.
Maka ketika perempuan membicarakan kesetaraan gender mereka tidak sedang melakukan kecuali berpindah kodrat dan kembali pada nilai yang kurang tepat menumbuhkan spirit dekonstruksi, merapuhkan inti utama sebuah bangunan (tiang). Sungguh bukan sedang menuju kesempurnaan. Karena kesempurnaan perempuan adalah ketika ia menjadi tiang. tempat sandaran untuk anak-anaknya. Tempat keluh kesah suaminya.
Maka,wahai para tiang, tak usah ingin menjadi atap, pintu, dinding atau yang lain. tetaplah menjadi tiang yang menjalankan fugsi tiang, karena bagaimanapun yang terpenting dalam sebuah tatanan adalah tiang, langkah awal perubahan semua bergantung dari engkau. ketika engkau kokoh dan tegar seluruh bangunan menjadi demikian.
Langganan:
Postingan (Atom)